Senin, 29 Oktober 2012
Tidak Berbudaya = Tidak
Berpendidikan
Oleh Muhammad Iqbal
Dilematika
Sistem Pendidikan Nasional yang Tidak Mengakomodir Budaya Lokal = Melahirkan
Generasi Iptek Tidak Berbudaya
Memang benar
bahwa kodrat pendidikan selalu berhubungan dengan hubungan sebab akibat seperti
pendidikan dapat melahirkan lapangan pekerjaan atau sebaliknya pengangguran
dapat diatasi dengan pendidikan.
Akan tetapi, perlu disimak Pasal 1 ayat 2
UU No 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa pendidikan
nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman (media.vivanews.com ).
Dari ayat di
atas ditegaskan bahwa salah satu landasan dari pendidikan nasional ialah
kebudayaan nasional dan hal ini yang masih jarang dalam konteks penerapannya.
Mungkin pembuat kebijakan hanya memperhatikan dua kata terakhir dalam ayat ini
yaitu “tanggap dengan perubahan zaman”
yang diwujudkan dengan menjamurnya sekolah internasional dan bersaing nasional,
tetapi mengesklusikan landasan lokal/ budaya lokal di daerahnya. Jika
dikembalikan dalam hubungan sebab akibat maka sistem pendidikan yang tidak
mengintegrasikan budaya lokal di dalamnya akan melahirkan generasi iptek yang
tidak berbudaya. Nasionalisme luntur apabila terbatas hanya generasi iptek
tidak berbudaya dikarenakan tidak ada korelasi yang kuat antara iptek dengan
nasionalisme jika dalam pengembangan iptek tersebut hanya terbatas sains dan
tidak ada penekanan nasionalisme. Hal ini berbeda dengan generasi berbudaya
yang dapat menumbuhkan semangat-semangat nasionalisme atau sebaliknya
nasionalisme dapat menumbuhkan apresiasi budaya lokal.
Sistem pendidkan nasional yang tidak mengkomodir
budaya lokal mendapatkan ancaman berupa globalisasi budaya. Dengan adanya
globalisasi budaya ini dikhawatirkan budaya asing yang justru menjadi identitas
bersama dan bukanlah identitas yang berasal dari budaya lokal. Hal ini
dikarenakan sedikit yang mau mengenakan atribut budaya lokal dibandingkan
budaya asing dan cara ampuh untuk melestarikan dan mengembangkan budaya lokal
melalui pendidikan justru kurang dilakukan.
Generasi Berbudaya dan Bukan Generasi IPTEK Tidak Berbudaya
Pendidikan
berbasis budaya oleh penulis diartikan sebagai upaya mengintegrasikan budaya
lokal dalam pendidikan formal dimana fokus pembelajaran tidak hanya semata-mata
pada iptek tetapi juga berbasis budaya lokal. Dalam hal ini, penulis sepakat
dengan Grant and Gomes bahwa pada kenyataannya, periode sekolah akan memisahkan
seseorang dari komunitas budayanya karena sekolah memiliki budaya sendiri dan
mata pelajaran yang diajarkan juga memperkenalkan budaya yang lain (atau bahkan
bertentangan) dengan tradisi budaya komunitasnya (Jurnal Pendidikan. 2006 :
83-89). Oleh karena itu, bukan sesuatu yang aneh jika lulusan dari
sekolah-sekolah formal yang terdapat di Indonesia lupa akan budaya lokal’nya
sendiri.
Sebenarnya,
pelajaran Seni budaya yang terdapat di tingkatan sekolah dasar hingga menengah
atas jika didesain secara baik maka dapat menjadi langkah bagus dalam
pengembangan budaya lokal terkait proses penanaman nilai. Akan tetapi,
apresiasi dan kreasi seni lebih banyak diutamakan seperti menggambar, menyanyi
dan lainnya, dibandingkan dengan apresiasi budaya. Oleh karena itu, perlu
dibenahi kurikulum pelajaran seni rupa dengan menambahan materi apresiasi
budaya lokal.
Selain membenahi
kurikulum pelajaran seni budaya, pendidikan berbasis budaya dapat meliputi dua
saluran. Saluran pertama ialah dengan membuat mata pelajaran budaya lokal
seperti pelajaran budaya betawi, budaya melayu dan lainnya. Sedangkan, saluran
kedua ialah mengintegrasikan muatan budaya lokal dalam pelajaran-pelajaran yang
telah ada atau disebut sebagai pembelajaran berbasis budaya. Untuk saluran pertama,
langkah baik telah dilakukan oleh pemerintah provinsi Riau dengan memasukkan
budaya Melayu. Hal ini mengutip pernyataan Kepala Dinas Pendidikan Riau H Mohd
Wardan, ''Gubernur Riau (Gubri) HM Rusli
Zainal dalam waktu dekat akan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang
kurikulum budaya melayu yang akan masuk dalam mata pelajaran di sekolah untuk
seluruh wilayah Riau'' (www.riau.go.id).
Walaupun begitu,
perlu diingat bahwa kurikulum budaya melayu yang dituangkan dalam pelajaran
budaya melayu tidak hanya mengedepankan aspek linguistik atau bahasa, tetapi
keseluruhan dari budaya melayu mulai dari filosofi, pembelajaran moral, tata
berperilaku sopan, dan lainnya. Selain itu, tidak hanya mengedepankan aspek
kognitif pada tataran outputnya tetapi juga masuk dalam tataran afektif bahkan action. Jadi siswa tidak hanya
mengetahui budaya melayu tetapi mengenakan atribut budaya melayu serta
berperilaku dengan nilai-nilai budaya melayu. Dalam hal ini, langkah pemerintah
Riau dapat ditiru oleh daerah-daerah lain dengan otonomi lokal’nya agar tidak
hanya mengedepankan pendidikan muatan lokal berupa pelajaran bahasa daerah
tetapi lebih jauh lagi dengan diadakan pelajaran budaya daerah.
Untuk
saluran kedua ialah mengintegrasikan muatan budaya lokal ke pelajaran-pelajaran
yang telah ada bahkan pelajaran yang bersifat sains. Hal ini melihat pada
kenyataan bahwa di Indonesia, belajar mengenai kebudayaan tidak diintegrasikan
dengan pelajaran lain tetapi sebagai sesuatu yang terpisah. Oleh karena itu,
pembelajaran berbasis budaya, akan mencoba mengintegrasikannya. Pembelajaran
berbasis budaya ialah belajar dengan budaya atau belajar melalui budaya (Jurnal
Pendidikan. 2006 : 83-89). Pembelajaran berbasis budaya telah banyak diterapkan
di banyak Negara bahkan Filipina sebagai Negara berkembang yang sama seperti
Indonesia telah mengadopsinya. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengadopsinya
untuk jangka panjang.
Di Filipina,
gerakan etnomatematika sebagai bentuk
pembelajaran berbasis budaya sudah dilaksanakan oleh UP College of Baguino Discipline of Mathematics. Kelompok tersebut
mencoba mempelajari teori struktur aljabar yang ada pada pola tenun
tradisional, pola musik, dan pola sistem persaudaraan dalam budaya Kankana-Ey.
Kankana-Ey merupakan salah satu dari tujuh kelompok etnolinguistik utama di
daerah Cordillera dan merupakan salah satu simpul seni terbesar di daerah Utara
pulau Luzon (Jurnal Pendidikan. 2006 : 83-89).
Di Indonesia bisa saja melakukan hal yang sama dengan mempelajari
Matematika atau pelajaran lain dengan budaya lokal. Misalnya, memperkenalkan
bentuk bilangan (bilangan positif, bilangan negatif) dalam satu garis bilangan
dengan Gareng atau Cepot sebagai media bantu. Dengan mengintegrasikan budaya
lokal dengan pelajaran lain, maka tidak hanya melahirkan generasi yang
berwawasan atau generasi berbudaya, tetapi melahirkan generasi berwawasan dan berbudaya.
Berbudaya
Merupakan Karakter Bangsa
Kemampuan
kognitif yang tinggi tetapi tidak berbudaya akan dapat menghancurkan bangsa
karena kehilangan karakter keindonesiaan’nya. Tentunya, akan menjadi sia-sia
jika banyak lulusan asal Indonesia yang mempu menciptakan teknologi tingkat
tinggi tetapi dengan menjual peninggalan budaya daerah. Oleh karena itu, pola
sistem pendidikan nasional baik itu tingkat pemerintah pusat maupun daerah
harus bisa diintegrasikan dengan perspektif kebudayaan.
Daftar Referensi :
Jurnal Pendidikan, Vol.6, No.2, September 2005, hlm
83-98
http://www.media.vivanews.com/.../01/.../311_Perjalanan%20UU%20Sisdiknas.pdf –
0 komentar:
Posting Komentar