Komik Obat Sesak Nafas chapter 1 ( pencemaran di teluk Jakarta)

Kamis, 29 Januari 2009

Photobucket

Renungan hati seorang Iblis (kala Palestina diserang)

Rabu, 07 Januari 2009



palestina diserang..................

berita2 itu sudah terdengar dmana..dmana....

bahkan tak sengaja pun qta denger berita2 itu...

di bis...bahkan bengkel motor dket rmah gw....


pertanyaan yg muncul dalam hati seorang iblis....

" kenapa ini terjadi dan terus knapa sebagai seorang iblis tidak dikonfirmasi dahulu...?"



jawabannya ialah.....

mereka tdak mengasih taw karena mereka bukan iblis seperti seutuhnya saya....mereka hanya manusia, mereka hanya seonggok otak dan emosi kekuasaan yg pasti terdapat pada diri seorang iblis seperti saya.........

jadi bisa dikatakan mereka hanya menjalankan syariat iblis yg terpapar dlm buku "jalan menuju neraka" yg hukumnya fardu ain,yaitu: hancurkan.....kuasai......

tapi yg menjadi pertanyaan ialah apakah mereka akan melanggar buku "jalan menuju neraka", dgan melanggar pantangan dan yg diharamkan dalam buku ini, sperti : rasa mengasihi...........rasa persudaraan........

ketika dikabarkan oleh CNN bahwa mereka sudah melakukan gencatan senjata selama 3 jam, terlintas bahwa mereka melakukan apa yg diharamkan dalam buku "jalan menuju neraka" pada pasal hancurkan & kuasai......

Akan tetapi mereka kembali menjalankan syariat dalam buku "jalan menuju neraka" dengan menyerang palestine kembali setelah 3 jam berlalu..........


Pertanyaan yg muncul sampai kapan..........?

apakah selaku iblis, saya harus memanggil teman saya yaitu arwah Theodore Hertz agar membatalkan gagasan zionismenya dan berbicara di depan pers internasional....

ataukah

saya memanggil arwah teman saya, aldof hitler agar bisa melakukan pemusnahan terhadap kaum yahudi.......................


MUngkin selaku iblis saya hanya bisa melakukan itu.......

Akan tetapi, selaku iblis saya ingin kembali dan renkeirnasi menjadi manusia apabila itu diperkenankan...

dan mengajak manusia yg menjalankan syariat dari buku "jalan menuju neraka", agar membakar buku tersebut dan membersihkan diri dari paham-paham iblis tersebut. Dan tak lupa, untuk menyalankan api nurani untuk menghilangkan segala bentuk kegelapan ................







hanya itu yg bisa dilakukan......................
hanya itu kaahh yg bisa dilakukan..................... ?






"tapi pada kenyataannya saya masih seorang iblis yg megharapkan menjadi manusia."


Efektivitas penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia beserta Pemasaran Sosial

Senin, 05 Januari 2009



Efektivitas penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Saat ini program-program penanggulangan HIV/AIDS yang ada sudah cukup banyak baik itu bersifat professional maupun charity. Bahkan, pemerintah sudah mengeluarkan strategi nasional 2007-2010 penanggulangan HIV/AIDS. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan strategi nasional 2007-2010 penanggulangan HIV/AIDS tersebut, melihat sisi mulia atau tujuan baik pada strategi tersebut. Akan tetapi, strategi tersebut pasti akan berbenturan dengan masalah efektivitas, apakah program tersebut dapat berjalan dengan sesuai yang diinginkan dan tepat sasaran. Masalah efektivitas tersebut pastinya akan berlaku pada semua program yang ada pada strategi tersebut yang secara garis besar meliputi upaya preventif, kuratif dan promotif.

Efektivitas preventif pada masalah HIV/AIDS sangat terkait erat dengan seberapa besar cakupan dari upaya preventif tersebut, atau bisa dikatakan area pencegahan dari masalah HIV/AIDS tersebut. Jika strategi nasional tersebut ingin dikatakan efektif maka dalam aplikasi atau tataran praktisnya harus bisa menjangkau empat sasaran area pencegahan, antara lain (www.undp.or.id) : 1. Kelompok tertular, 2. Kelompok berisiko tertular, 3. Kelompok rentan, dan, 4. Masyarakat umum.
Area pertama ialah usaha preventif pada kelompok tertular. Kelompok ini bisa dikatakan benar-benar sudah terkena HIV/AIDS. Jika dilihat secara implisit maka bisa dikatakan bahwa kelompok ini lebih baik diarahkan dan diberikan upaya kuratif saja. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh terdapat juga usaha pencegahan yang khusus untuk kelompok tertular ini. Usaha pencegahan ditujukan untuk mengurangi laju perkembangan hiv, menciptakan individu agar produktif dan meningkatkan kualitas hidup si pengidap HIV/AIDS.

Area kedua ialah kelompok yang berisko terkena HIV/AIDS. Dalam kelompok ini terdapat penjaja seks, pelanggan penjaja seks, waria, homoseksual, IDHU, dan lainnya. Jika dilihat bahwa akar masalah dari kelompok ini ialah bentuk perilaku beresiko mereka maka perlu dilaksanakan upaya pencegahan yang berbentuk health education, yang ditujukan ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman.

Area ketiga ialah kelompok rentan terkena masalah HIV/AIDS. Kelompok rentan ialah kelompok masyarakat yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan terhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja, anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan petugas pelayanan kesehatan (www.undp.or.id). Dalam hal ini, upaya pencegahan pada kelompok ini dengan tujuan agar kelompok rentan ini tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV. Jadi bisa dikatakan bahwa upaya pencegahannya bertujuan unuk menghambat bertambahnya kelompok berisiko.

Area keempat ialah masyarakat umum. Dalam hal ini, peran masyarakat dalam penanggulangan masalah HIV/AIDS ialah sangat penting, hal itu dikarenakan masyarakat merupakan suatu lingkungan sosial yang dapat membentuk perilaku anggota masyarakat di dalamnya. Oleh karena itu, upaya pencegahan lebih difokuskan untuk meningkatkan peningkatkan kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Masalah HIV/AIDS tidak hanya pada aspek pencegahan saja, perlu suatu upaya dimana bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dari pengidap HIV/AIDS. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya kuratif yang bisa mengobati pengidap yang meliputi tiga aspek, yaitu : aspek fisik, psikologi dan sosial. Efektivitas dari upaya kuratif ini seringkali dipertanyakan karena hanya condong pada aspek pengobatan fisik saja, seperti : pemberian obat ARV, dan seringkali upaya kuratif yang bersifat psikologis dan sosial sering terlupakan padahal keduanya merupakan aspek penting, yang wajib dilakukan agar efektivitas dari upaya kuratif masalah HIV/AIDS tetap terjaga.

Pengobatan secara fisik tetap diberlakukan karena bersifat penting, dengan pengembalian tubuh secara bugar maka akan lebih mudah menjalankan rutinitas, namun juga tak melupakan pengobatan secara psikologis dan sosial. Upaya penyembuhan yang bersifat psikologis bisa saja berupa kegiatan konseling dengan tujuan membuat dan memanajemen emosinya menjadi stabil dan tidak stress akibat HIV/AIDS yang dideritanya. Selain itu, bisa saja dibentuk therauputik group dan support group.
Upaya kuratif yang pada aspek sosial juga harus diterapkan pada pengidap HIV/AIDS. Hal itu dengan melihat bahwa pengidap HIV/AIDS mengalami proses labelling oleh masyarakat dimana mereka mendapatkan label buruk sebagai, “orang-orang yang tidak berguna.” Dengan melihat kenyataan tersebut maka upaya kuratif pada aspek sosial, difokuskan pada upaya mendorong pengidap HIV/AIDS agar menjadi produktif dan punya konstribusi terhadap masyarakat. Dengan begitu maka secara tidak langsung akan mengurangi stigma buruk di masyarakat. Upaya kuratif pada aspek sosial pernah dirasakan manfaatnya oleh Nining Ivana yang merupakan pengidap HIV/AIDS (Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“ Kini aku bersyukur bisa bekerja sebagai satu dari tiga kader muda di sebuah puskesmas di Cilincing—sebuah program kerja sama KPAD Jakarta Utara dan IHPCP (Indonesian HIV Prevention and Care Project). Kini aku mengisi hari-hari melakukan penyuluhan, terutama kepada para pemakai narkoba jarum suntik. Honornya cukup buat kebutuhan keseharianku.”

Dari pengalaman Nining Irvana di atas maka bisa dikatakan bahwa upaya kuratif pada aspek sosial terbukti membuat si pengidap HIV/AIDS percaya diri dan menjadi produktif dengan berkonstribusi pada masyarakat.
Efektivitas upaya kuratif juga terkait dengan bentuk pedampingan bagi ODHA. Pada saat sesorang dinyatakan positif terkena HIV maka pada saat itu pula harus dilakukan pedampingan, hal itu dikarenakan pada saat itu, pengidap baru masih bingung dan belum mengerti langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Jika pada ODHA tidak ada suatu pedampingan maka akan membuat pengidap HIV/AIDS menjadi stress dan mengalami kesendirian seperti pengalaman yang dialami oleh Nining Ivana (Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“Aku pun dirujuk ke RSCM, untuk konsultasi lebih lanjut. Kembali dijelaskan bahwa aku diduga terkena HIV. Dokter lagi-lagi hanya meminta aku kembali ke klinik untuk dites kembali. Terpaksalah empat hari kemudian aku kembali menjalani tes yang sama di klinik yang sama dengan hasil yang sama pula. Tiada penjelasan ataupun pendampingan tentang apa saja yang aku persiapkan menghadapi kenyataan harus hidup dengan HIV. Aku merasa sendirian.”


Pengalaman yang dialami oleh Ning Ivana membuktikan bahwa proses pedampingan ialah sangat penting. Dengan adanya proses pedampingan maka pengidap HIV/AIDS tidak terganggu psikologisnya, tidak bingung karena mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan setelah dinyatakan positif HIV. Selain itu, yang juga tak kalah penting bahwa dalam proses pedampingan akan terdapat usaha yang mendorong si pengidap HIV/AIDS menjadi produktif dan berkonstribusi. Jadi bisa dikatakan proses pedampingan merupakan pembuka jalan dan ujung tombak bagi usaha kuratif terutama yang bersifat psikologis dan sosial.

Upaya promotif terhadap masalah HIV/AIDS juga perlu dilihat efektivitasnya. Hal itu sedemikian penting karena upaya promotif tidak hanya pemberian informasi, tetapi dengan adanya informasi dapat berperan sebagai kerangka kognitif yang dapat mengubah gaya hidup dan meningkatkan kontrol untuk menghindari dari bahaya HIV/AIDS. Kurangnya promosi kesehatan pernah di alami oleh Nining Ivana (Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“Awalnya, aku sendiri tak tahu dari mana penyakit ini bisa menggerogoti tubuhku. Dengan sabar pegiat LSM tersebut mendampingiku, memberikan beberapa penjelasan. Aku pun teringat, selama tiga tahun saat di sekolah menengah pertama aku suka memakai narkoba jarum suntik. Satu jarum suntik bisa dipakai bergantian untuk menghemat. Baru aku tahu, HIV bisa menular lewat cara itu. Aku dulu mengira HIV hanya akrab dengan kaum gay, pekerja seks atau penganut seks bebas. Ternyata aku salah besar. Kendati sudah berhubungan seksual sejak di sekolah menengah, aku selalu SETIA dengan pasanganku. Tapi aku tidak tahu ternyata ada cara untuk melakukan hubungan seks yang aman. Kemungkinan besar aku terkena HIV jauh sebelum berangkat ke Malaysia.”


Dari pengalaman yang di alami oleh Nining Ivana maka bisa dikatakan upaya promotif yang ada masih minim. Akibatnya berdampak pada kerangka kognitif yang kurang pada masalah HIV/AIDS dan akan lebih mudah cenderung untuk melakukan perilaku beresiko.
Dalam hal ini, efektivitas upaya promotif dilihat jika memiliki pengaruh dan berdampak pada pola perilaku, yaitu gaya hidup sehat dan menghindari perilaku beresiko. Hal itu juga sangat terkait erat dengan sasaran dari upaya promotif tersebut yang meliputi kelompok Kelompok tertular, kelompok berisiko tertular, kelompok rentan dan masyarakat umum. Upaya promotif tersebut lebih di arahkan pada KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), yang memiliki goal terhadap perubahan tingkah laku dan gaya hidup.

Pemanfaatan media massa sebagai sarana upaya promotif juga perlu ditingkatakan kuantitas dan kualitasnya, demi meningkatkan efektivitas upaya promotif. Seperti diketahui, media massa dapat menjangkau semua orang tanpa melihat satuan geografis, dan juga dapat lebih cepat diserap oleh masyarakat daripada sarana sosialisasi lain. Jadi diharapkan media massa bisa berperan sebagai pemasaran sosial mengenai bahaya HIV/AIDS and bentuknya bisa berupa iklan. Oleh karena itu, perlu dikemas penyampaian bahaya HIV/AIDS tersebut menjadi sedemikian menarik dan tentunya juga melihat dari kapasitas dari iklan bahaya HIV/AIDS agar bisa menjadi kerangka kognitif untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.

3.2. Upaya promotif pada kelas X1IPA 3 SMA Putra Bangsa dilihat dari pendekatan sosiologi (Temuan Lapangan).

Seperti yang sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya bahwa upaya promotif memegang peranan penting sebagai sarana pemberian informasi yang bisa menjadi kerangka kognitif guna terjadinya perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat. Penulis yang dibantu kelompok dalam mata kuliah Masalah Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial diberikan kesempatan untuk melakukan promosi kesehatan bahaya HIV/AIDS di kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa, yang telah dilakukan pada hari rabu, 3 Desember 2008 kemarin. Salah satu kegiataannya ialah dengan pre-test dan post-test. Hasil pretest menunjukkan bahwa hanya 10 orang yang menyatakan tahu mengenai HIV/AIDS. Walaupun begitu, pengetahuan yang mereka miliki bisa dikatakan sangat sederhana. Selain itu juga, terdapat pertanyaan yang diajukan oleh siswa dalam interaksi tanya jawab, yang menunjukkan bahwa mereka masih awam untuk masalah HIV/AIDS. Seperti pertanyaan :

”Kak....HIV itu sama dengan civilis yaa...?.” atau ”kak....Kalo kena HIV itu pasti akan meninggal yaa..?.”

Dari pertanyaan yang diajukan mencerminkan bahwa mereka belum mengetahui HIV dan AIDS dan bedanya dengan penyakit lain seperti civilis, yang tak lain ialah gejala yang sering ditemui ketika sudah masuk tahap/gejala AIDS. Mereka juga masih memiliki pola pikir bahwa setelah terkena HIV/AIDS maka semua akan berakhir dan siap-siap menuju kematian, padahal jika hidup sehat maka akan mencegah HIV tersebut melebar menjadi AIDS.

Dalam pre-test tersebut banyak dari mereka hanya menyatakan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit menular tanpa definisi lebih detail mengenai HIV/AIDS. Mereka juga tak dapat membedakan antara HIV dan AIDS. Menurut mereka penyebab HIV/AIDS hanya sebatas dari jarum suntik dan seks bebas. Sedangkan, pencegahannya dengan pengunaan alat kontrasepsi. Selain itu, mereka juga mengungkapkan bahwa sex promotion dan sex education di sekolah sangat minim didapatkan. Oleh karena itu, mereka merasa butuh akan penyuluhan atau kampanye untuk memperluas pengetahuan yang bisa menjadi kerangka kognitif untuk tindakan pencegahan HIV/AIDS. Setelah diberikan intervensi oleh penulis beserta kelompok melalui pemutaran film, presentasi dan interaksi tanya-jawab, maka post test yang diberikan menunjukkan hasil signifikan. Bisa dikatakan bahwa intervensi yang telah dilakukan penulis beserta kelompok dapat memberikan perubahan terhadap pengetahuan peserta mengenai HIV/AIDS. Sebagian besar dari mereka telah paham tentang AIDS dan mampu menjelaskan definisi HIV/AIDS dengan tepat dan membedakan HIV dengan AIDS.

Dalam, melakukan kegiatan promosi kesehatan mengenai bahaya HIV/AIDS, penulis juga melakukan kegiatan tersebut berdasarkan pendekatan sosiologi kesehatan seperti penggunaan teori sosial. Teori Sosial yang mendasari penulis beserta kelompok ketika melakukan kegiatan health promotion ialah teori sosial yang diungkapkan oleh Leviton (Kamanto, 2001: 7.16-7.17), antara lain : 1. Teori-teori kognitif dan pengambilan keputusan, dan 2. Teori-teori Pembangkit rasa takut.

Teori-teori kognitif dan pengambilan keputusan

Teori ini berasumsi bahwa manusia merupakan pelaku rasional yang memperoleh informasi. Selanjutnya diasumsikan bahwa apabila manusia memperoleh informasi yang benar maka pengetahuan, sikap, keyakinan dan perilaku mereka akan berubah. Dengan demikan strategi penanggulangan HIV/AIDS dapat berupa pemberitaan informasi yang akurat dan lengkap mengenai resiko infeksi HIV/AIDS agar orang dapat secara rasional mempertimbangkan konsekuensi perilakunya dan kemudian memutuskan untuk menghindari atau mengurangi perilaku resiko tinggi.

Dalam hal ini, penulis beserta kelompok telah menggunakan teori-teori kognitif dan pengambilan keputusan dalam melakukan health promotion di kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa, bahkan penulis beserta kelompok mengakui porsi penggunaan teori ini dalam kegiatan tersebut cukup besar. Media dan saluran komunikasi sebagai alat sosialisasi menjadi sangat penting untuk terakomodirnya teori kognitif dan pengambilan keputusan, dan yang berperan besar di sini ialah pemutaran film dan persentasi.
Film tentang bahaya HIV/Aids didapatkan oleh penulis dan kelompok dari BNN dan inti film tersebut ialah bahaya HIV/Aids dan juga ada keterkaitannya dengan narkoba sebagai penyumbang terbesar jumlah penderita HIV/Aids di Indonesia. Dalam film tersebut ditampilkan cukup jelas mengenai masalah HIV/Aids mulai dari penyebabnya, penyebarannya, dan juga dampaknya baik itu fisik maupun sosial. Film tersebut dikemas dan disajikan dengan cukup baik sehingga tidak membosankan bagi siswa. Hal itu terlihat dari keseriusan mereka menonton film tersebut, bahkan bisa dikatakan terbawa oleh alur film tersebut. Jika dalam di film tersebut, ada hal yang dianggap lucu maka mereka tertawa, dan jika ada adegan yang menjijikan maka mereka serempak berkata, “iih..”.

Logikanya, jika mereka telah tertawa dan serius melihat film tersebut maka mereka akan mendapatkan informasi yang cukup bagi kerangka kognitif mereka. Dengan begitu, mereka akan punya dasar dan kerangka kognitif yang cukup kuat untuk menentukan perilaku mereka agar tidak melakukan perilaku yang beresiko terkena HIV/Aids.
Presentasi yang telah dilakukan penulis beserta kelompok juga bisa dikatakan sebagai media sosialisasi informasi mengenai bahaya HIV/Aids, walaupun kelompok mengakui presentasi tersebut hanya memakan waktu yang sedikit dibandingkan kegiatan lainnya.

Walaupun begitu, presentasi ini tetap termasuk dalam teori kognitif dan pengambilan keputusan Levitan. Dalam presentasi ini bisa dikatakan hanya melengkapi informasi yang terdapat pada film karena pada film tersebut sudah sangat cukup lengkap mengenai HIV/Aids. Jadi bisa dikatakan, apabila di atas sudah disebutkan bahwa film telah membrikan informasi yang menjadi dasar kerangka kognitif siswa, maka presentasi ini berfungsi menjadi pelengkap informasi dan pemicu keyakinan pada siswa agar berkata dalam hati dan ucapan, “say no to risk behavioral.” Penulis beserta kelompok juga mengharapkan mereka juga melanjutkannya ke tahap perbuatan, karena mereka sudah mempunyai dasar dan kerangka yang cukup mengenai HIV/Aids.
Selain itu, kegiatan pre-test dan post-test yang telah dijawab oleh siswa menjadi tolak ukur seberapa besar pengetahuan/ kognitif mereka mengenai HIV/Aids. Hal itu menjadi penting karena kerangka kognitif menjadi dasar atau landasan untuk berperilaku.

Teori-teori pembangkitkan rasa takut

Teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi berasumsi bahwa perilaku manusia ditentukan oleh proses-proses di dalam diri manusia. Dengan demikian strategi penanggulangan HIV/AIDS yang dapat ditempuh ialah, misalnya, dengan pemberian informasi mengenai infeksi HIV/AIDS agar emosi seperti rasa takut terinfeksi akan mendorong seseorang untuk menghindari ataupun mengurangi perilaku resiko tinggi.
Dalam hal ini, penulis beserta kelompok telah menggunakan teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi dalam kegiatan health promotion pada kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa.

Media dan saluran informasi yang telah mengakomodir aplikasi dari teori ini ialah film. Pada film tersebut terdapat tayangan atau display yang meperlihatkan korban yang terkena HIV/Aids dilihat secara fisik. Tayangan tersebut menimbulkan rasa takut, geli dan menjijikan bagi siswa. Hal tersebut bisa dilihat dari raut wajah mereka dan perkatan, “Iih…” secara serempak. Selain itu, tayangan tersebut juga memperlihatkan dampak sosial dari pengguna HIV/Aids, seperti : stigma sosial kepada Odha, yang cukup membuat takut siswa.

Kegiatan health promotion pada kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa mengenai HIV/Aids dengan menggunakan teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi bisa dikatakan sejenis cambuk terhadap sasarannya agar mengikutinya dan hal tersebut tidak terdapat pada teori sebelumnya (teori teori kognitif dan pengambilan keputusan). Dalam teori kognitif dan pengambilan keputusan yang telah dijelaskan di atas, disebutkan bahwa telah terjadi pemberian informasi mengenai HIV/Aids, dan selanjutnya telah menjadi dasar atau landasan kognitif siswa agar tidak berperilaku resiko. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan ialah, “kapan mereka memulai dan menentukan sikap/perilaku ?.” Dengan begitu, perlu dicari jawabannya agar siswa X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa dalam waktu tidak lama, bisa menentukan sikap mereka agar tidak berperilaku resiko HIV/Aids. Oleh karena itu, kelompok menggunakan teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi dalam promotion health agar mempercepat tempo mereka untuk menentukan sikap mereka agar tidak berperilaku resiko HIV/Aids, walaupun bisa dikatakan telah terjadi pemaksaan secara halus dengan membangkitkan rasa takut dan emosi mereka melalui pemutaran film.

Fenomena Ruqyah di Indonesia


Ruqyah sebagai Sosialisasi spritual

Ruqyah dikatakan oleh penulis sebagai sarana terjadinya sosialisasi spiritual karena ruqyah dalam metodenya selalu berkaitan dengan hati dan mengintervensi hati tersebut, dan juga penanaman nilai-nilai spiritual selalu diterapkan dalam Ruqyah. Hal itu dilihat dari proses Ruqyah itu sendiri yang telah dipaparkan pada bab deskripsi sebelumnya. Misalkan, pasien harus berwudu dan diusahakan agar bisa membaca ayat-ayat Al Quran. Selain itu yang terpenting bahwa dalam porses Ruqyah tersebut, ditanamkan jiwanya dengan keyakinan-keyakinan akan kekuasaan tuhan dan selalu berserah diri kepada Allah dan terus berusaha/berikhtiar. Bisa dikatakan dalam proses Ruqyah ini orang masuk dalam tahap spiritual yang tinggi atau religius walaupun terbatas pada konteks waktu Ruqyah dan tempat Ruqyah. Jadi bisa dikatakan Ruqyah merupakan sarana sosalisasi spritual. Akan tetapi, bagaimana jika ada kasus apabila antara agen sosialisasi dengan pasien sebagai pihak penerima spritualisasi malah berbeda mengenai konteks dan pemahaman tentang spritualisasi itu sendiri, dengan kata lain pasien Ruqyah berasal dari agama non islam.

Hal tersebut penulis coba gali ketika wawancara dengan Mbak Nur, supervisior lembaga Natura Health. Dalam wawancara tersebut ialah pernah dikatakan bahwa ada satu pasien yang non-islam datang sengaja untuk diruqyah. Dalam hal ini, ditegaskan bahwa jika ada maksud positif dari pasien non-islam ini maka Insyaallah proses ruqyah akan bisa dilakukan. Dalam hal ini, bisa dikatakan telah terjadi proses sosialisasi dalam konteks yang berbeda. Spritualisasi tak hanya terbatas pada pemahaman tentang agama masing-masing, tetapi lebih dari itu, dimana telah terjadi proses penyerahan diri kepada Tuhan, dan juga diyakinkan bahwa Tuhan akan menolong kita apabila kita berusaha.

Selain itu yang dipertanyakan penulis ialah efektivitas dari sosialisasi spiritual pada proses Ruqyah tersebut. Setelah melalui proses Ruqyah, apakah benar-benar orang tersebut menjadi religius. Jika dikaitkan dengan analisa sosiologis, apakah dalam proses Ruqyah tesebut telah terjadi sosialisasi spiritual dan disertai internalisasi yang mendalam. Dalam proses Ruqyah tersebut, penulis menjawab, “Iya.” Akan tetapi, bagaimana pasca Ruqyah, oleh karena itu, penulis melakukan wawancara dengan informan yang pernah menjadi pasien Ruqyah, bernama Lendi.

Perilaku gw sebelum Ruqyah dan sesudah Ruqyah sama-sama aja, abis Ruqyah ga religius amat, biasa aja…..”

Dalam wawancara tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa Ruqyah tidak bisa menjamin bahwa setelah diruqyah, orang menjadi lebih religius. Bisa dikatakan mempunyai kemungkinan 50%-50% dan banyak sekali dipengaruhi faktor lainnya. Oleh karena itu, pada sub-bab pertama analisa ini, penulis hanya berani menyatakan bahwa dalam proses Ruqyah ini telah terjadi proses sosialisasi, sedangkan untuk terjadi proses internalisasi terutama jangka panjang masih dipertanyakan.

Setelah di atas sudah diketahui bahwa Ruqyah bisa dikatakan tempat terjadinya sosialisasi spiritual. Akan tetapi, bagaimana proses Ruqyah bisa menjadi problem solving terahadap penyakit fisik yang notabane ialah hasil sosialiasi juga. Penulis mengakui untuk membahas hal tersebut jarang sekali dilakukan dengan pendekatan ilmiah, dan bisa juga dikatakan kurang terjadi komunikasi antara keduanya. Pada makalah sebelumnya sudah ditegaskan bahwa Ruqyah merupakan suatu bentuk dari proses transfer energi kepada pasien melalui doa-doa yang dibacakan. Lewat ayat-ayat Al Quran, energy positif disalurkan sehingga energy negatif yang ada di pasien dapat digantikan dengan energi positif. Metode ini merupakan salah satu penyembuhan dengan mengaktifkan ion positif dalam tubuh. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan oleh penulis ialah efektivitas dari doa tersebut terutama untuk penyembuhan secara fisik. Dr. Dossey, dokter lulusan Universitas di Texas, menjelaskan bahwa setelah ia mengumpulkan beberapa penelitian tentang terapi doa, dia menjelaskan bahwa ternyata doa dapat mengendalikan sel-sel kanker, sel-sel pemacu, sel-sel darah merah, enzim, bakteri, jamur, dan sebagainya (T. Hemaya, 1997: 171-172 dipublikasikan di wargakl.mypunbb.com). Selanjutnya, Dr. Dadang Hawari menyatakan bahwa suatu studi terhadap 393 pasien jantung di San Fransisco menunjukkan bahwa kelompok pasien yang terapinya ditambah dengan terapi doa sedikit sekali yang mengalami komplikasi, sedang yang tidak menggunakan terapi doa banyak menimbulkan komplikasi dari penyakit jantungnya (Hawari, 1997: 8 dipublikasikan di wargakl.mypunbb.com). Sementara di Indonesia misalnya dilakukan oleh Ustadz Haryono dengan membaca Al Fatihah dan ayat-ayat maupun do’a dari Al Qur’an dan As Sunnah. Kurang lebih sembilan juta pasien pernah ditanganinya (Damarhuda, 2005: 1-2, 52 dipublikasikan di wargakl.mypunbb.com).

Jadi bisa dikatakan dari lietaraur di atas doa termasuk juga doa dalam Ruqyah memilki pengaruh positif terhadap fisik dengan pemberian energi positif. Biasanya dalam proses Ruqyah disempurnakan dengan proses pembekaman. Bedasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Mbak Nur (supervisior lembaga Natura), bahwa proses pembekaman digunakan untuk membersihkan darah kotor pada tubuh, dan juga dianjurkan bahwa pembekaman disarankan pada tanggal 15, 17 dan 21 karena pada saat itu benda cair yang ada di bumi akan pasang termasuk darah yang ada dalam tubuh manusia. Dalam hal ini pembekaman juga tak hanya berfungsi kuratif, yang digunakan setelah proses Ruqyah, tetapi bisa juga menjadi fungsi preventif untuk mencegah terjadinya penyakit dengan membersihkan darah-darah dalam tubuh kita pada waktu yang dianjurkan.

Jadi bisa dikatakan Ruqyah tak hanya terbatas pada sosialisasi primer saja tetapi juga Ruqyah bisa dikatakan salah satu problem solving terhadap berbagai macam masalah penyakit. Dengan begitu peran Ruqyah sebagai medis alternatif bisa dikembangkan. Akan tetapi, masih patut disayangkan bahwa masyarakat yang ikut proses Ruqyah tak lebih dari satu alasan karena diganggu jin. Pandangan masyarakat tersebut bisa terbentuk seperti itu diakibatkan oleh suatu proses konstruksi yang panjang. Hal seperti inilah yang coba penulis jawab pada sub-bab selanjutnya.

Fenomena Berkembangnya Ruqyah ialah Hasil dari Proses Konstruksi Sosial yang Panjang

Ruqyah dikatakan sebagai bagian dari medis alternatif diakibatkan oleh suatu kesepakatan atau konstruksi oleh masyarakat Indonesia secara umum. Hal tersebut mempengaruhi lahirnya atau bekembangnya Ruqyah di Indonesia. Suatu konstruksi sosial pastinya akan dipengaruhi oleh latar dari masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, ada dua latar yang penulis anggap sebagai penyebab terjadinya konstruksi sosial terhadap Ruqyah. Pertama, fakta bahwa masyarakat Indonesia ialah mayoritas islam. Bisa dikatakan hal ini menjadi faktor utama berkembangnya Ruqyah. Islam sebagai agama tentunya akan memiliki konsep, ritual dan makna tersendiri. Selain itu, Konsep Islam mengenai perkara ghaib diatur dalam prinsip aqidah Islamiah yang tercermin dalam rukun iman (digilib.Unej.ac.id). Hal tersebut tentunya membentuk kerangka dan landasan untuk bertindak bagi setiap muslim. Bisa dikatakan hal tersebut menjadi faktor pendorong berkembangnya Ruqyah yang dalam bab deskripsi di atas, dipaparkan sebagai media penyembuhan islam.

Kedua, fakta bahwa masyarakat Indonesia masih mempunyai budaya klenik yang besar. Masyarakat Indonesia dalam berperilaku sangat dipengaruhi oleh hal-hal berbau klenik, misalkan menenentukan tanggal pernikahan yang baik bedasarkan weton, pergi ke kuburan, jimat dan lainnya. Dalam hal ini, bisa dikatakan telah terjadi pola perilaku irassional dan otomatis akan mendorong orang tersebut juga menggunakan metode pengobatan mistis. Budaya klenik ini bisa dikatakan tak memiliki hubungan erat dengan Ruqyah yang notabane pengobatan muslim karena memiliki perbedaan yang kontras. Akan tetapi, budaya klenik ini pun menjadi faktor berkembangnya Ruqyah, bahkan unsur-unsur dalam budaya ini terdapat pada metode Ruqyah.

Pengaruh antara agama islam dengan budaya klenik setempat menimbulkan terjadinya pergesekan. Bisa dikatakan fenomena ini menjadi awal atau lahirnya suatu konstruksi sosial terahadap Ruqyah. Latar belakang masayarakat Indonesia yang muslim dan ditambah budaya klenik telah menciptakan terjadinya percampuran atau pergesekan antara keduanya, atau bisa dikatakan munculnya sinkreteisme versi Indonesia global, dikatakan seperti itu karena tak terbatas pengaruh budaya Jawa tetapi pengaruh budaya lainnya juga ikut berperan. Pengaruh budaya dan adat stiadat setempat sangat membentuk pola pikir masyarakat dan dapat berkembang sebagai bentuk persekutuan kepada Tuhan. Pergesekan antara nilai budaya dan adat istiadat dengan agama menumbuhkan diskursus baru tentang upaya pemurnian agama (digilib.Unej.ac.id). Dari sini ada dua pihak yang bertentangan golongan mempertahankan ajaran agama secara tekstual, kelompok lain lebih mengakomodasi perkembangan adat istiadat dan budaya (digilib.Unej.ac.id). Penulis mengatakan bahwa pertentangan antara kedua kelompok tersebut berlangsung di berbagai bidang kehidupan termasuk juga bidang medis. Dalam hal ini, peran golongan pemurnian islam memperkenalkan sistem medis alternatif yang disebut dengan Ruqyah. Apa yang disebut Ruqyah sudah dipaparkan pada bab deskripsi di atas, dan singkatnya ialah suatu metode pengobatan secara non medis dengan bacaan Al-Quran dan doa sebagai upaya untuk mengobati penyakit fisik dan non fisik (hati). Dalam hal ini, golongan pemurnian islam menginginkan pemurnian akidah pada masyarakat dan menghindari budaya klenik yang dikatakan musyrik.

Dalam hal ini, bisa dikatakan ruqyah menunjukkan pengaruh besar untuk mengurangi medis kesehatan klenik terutama pada masyarakat muslim. Ruqyah syariah cukup efektif cukup efektif untuk mendorong masyarakat agar tidak pergi ke dukun lagi,
masyarakat banyak yang mau membakar jimat mereka, tidak meminta pada
kuburan, dan tidak ikut isi-isian atau bekal-bekalan (digilib.Unej.ac.id). Mereka bisa mewujudkannya bukanlah melalui suatu yang asal-asalan tetapi melalui suatu mekanisme. Mekanisme pengembangan Ruqyah syar'iyah sebagai upaya transformasi perilaku keagamaan, dilakukan dengan melalui transferensi nilai dan dekulturasi budaya, serta melalui transformasi tradisi dan strategi pengobatan alternatif. Transformasi dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang nilai-nilai yang ideal menurut standart al-Qur'an dan sunnah (menurut versi golongan pembaharu/pemurnian). Wujud solusi konkrit yang diberikan
adalah melalui terapi Ruqyah syar'iyah. (digilib.Unej.ac.id).

Akan tetapi, penulis berpandangan bahwa tujuan dari golongan pemurnian islam tidak tercapai secara sempurna terutama dalam konteks aqidah. Jika penulis boleh menyebut fenomena Ruqyah ini sebagai, “bentuk tindakan irrasional di bawah kerangka islam.” Budaya klenik dalam masyarakat tidak benar-benar hilang seperti yang diinginkan oleh golongan pemurnian Islam, malah terjadi suatu fenomena bahwa masyarakat mempercayai jin secara berlebihan. Jika ada yang sakit, mereka akan mengatakannya bahwa berasal dari jin, padahal tidak semuanya dikatakan seperti itu. Dalam bab deskripsi dan sub-bab pertama analisa bahwa Ruqyah tak semata-mata pengobatan mengusir jin. Selain itu banyak penyakit yang juga dapat dijelaskan oleh medis formal khusunya medis barat. Hanya saja yang menjadi perbedaan ialah masyarakat sudah jarang mendatangi dukun-dukun, tetapi mereka berbondong-bondong ke tempat Ruqyah.

Akibat dari Ruqyah yang seperti ini tentunya berpengaruh pada pola perilaku irrasional masayarakat di bidang medis. Walaupun masyarakat dikatakan hidup pada zaman rasional tetapi masyarakat percaya pada hal-hal gaib termasuk jin bahkan secara berlebihan. Jika merujuk pada teori perkembangan manusia oleh salah satu bapak sosiologi, Aguste Comte. Kondisi masyarakat tersebut dikatakan berada pada tahap perkembangan masayarakat yang positif atau rasional hanya saja orang-orang yang berada di dalamnya masih memiliki pola pikir dan perilku orang-orang yang hidup di zaman teologis dan terutama metafisik.

Di atas sudah disebutkan bahwa ruqyah ialah hasil dari proses konstruksi sosial yang panjang dan membentuk pola pikir dan perilaku dalam masyarakat, atau bisa dikatakan oleh penulis, “tindakan irrasioanal dalam kerangka islam.” Contohnya dengan adanya terapi pengobatan ruqyah syar'iyah menyebabkan masyarakat berpikir untuk hal-hal yang sederhana pun disebabkan karena jin (makhluk ghaib). Seperti malas, ngantuk, ngorok, tidak punya anak dan sebagainya disebabkan oleh gangguan jin (digilib.Unej.ac.id). Padahal sudah ditegaskan pada bab deskripsi dan sub-bab pertama analisa bahwa Ruqyah tak semata-mata hanya mengusir jin.

Contoh yang ditujukan dalam literatur di digilib.Unej.ac.id juga ditemukan ketika penulis melakukan wawancara dengan mbak Nur (supervisior lembaga Natura Health Care). Penulis menanyakan bagaimana antusias warga sekitar terhadap praktek Ruqyah massal yang diselenggarakan oleh lembaga ini pada bulan ramdahan. Dalam wawancara tersebut, mbak Nur mengatakan bahwa masyarakat sekitar sangat antusias mengikuti program Ruqyah tersebut. Hal itu dapat dilihat dari jumlah mereka yang berpartisispasi mencapai angka 30 orang dan hal tersebut tak sebanding dengan tenaga peruqyah Natura hanya dua orang. Selain itu, penulis juga tertarik dengan kelas sosial seprti apa yang terkena, “bentuk tindakan irrasional dalam kerangka islam.” Jika hal ini terjadi pada golongan menengah bawah, penulis bisa memahaminya. Akan tetapi setelah dilakukan wawancara dengan Mbak Nur (supervisior lembaga Natura Health Care), ditemukan fakta bahwa yang ikut proses Ruqyah dalam lembaga ini ialah golongan menengah atas. Hal itu mungkin terjadi karena besarnya tarif Ruqyah yang mencapai Rp 108.000. Hal tesebut tidak termasuk dengan proses pembekaman walaupun mendapat discount 50%. Dalam hal ini, penulis tidak terlalu mempermasalahkannya, tetapi “bentuk tindakan irrasional dalam kerangka islam” ini telah menjalar ke golongan menengah atas. Hal ini bisa dikatakan sebagai fenomena unik.

Jadi bisa dikatakan fenomena Ruqyah di Indonesia masih diwarnai oleh tindakan irrasional. Proses Ruqyah yang diinginkan oleh golongan pemurnian islam tidak dapat berjalan sepenuhnya. Hal itu terlihat dari motif irrasional mereka dating ke tempat Ruqyah karena hanya satu alasan, penyakit mereka disebabkan oleh gangguan jin. Walaupu begitu, fenomena Ruqyah ialah hasil proses konstruksi sosial yang panjang dan bisa saja dikonstruksikan sosial secara berbeda pada suatu saat nanti. Sekarang yang menjadi pertanyaan, siapa yang memfasilitasi agar konstuksi sosial tesebut dapat berjalan. Dalam hal ini, banyak faktor yang mempengaruhi dan salah satunya ialah media.

Masalah Anak Jalanan di Jakarta

Minggu, 04 Januari 2009


Di kota besar seperti Jakarta sangat banyak sekali terjadi permasalahan sosial. Bisa dikatakan permasalahan sosial tersebut memukul rata warga Jakarta. Dengan artian, permasalahan tersebut terjadi di semua tingkatan umur termasuk anak-anak. Selain itu, tak hanya dalam konteks umur tapi juga terjadi dalam konteks ruang. Permasalahan sosial anak bisa terjadi di rumah, sekolah dan termasuk juga jalanan atau sering disebut sebagai anak jalanan. Seseorang bisa dikatakan anak jalanan, bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada di jalan lebih dari 6 jam sehari. Ada beberapa tipe anak jalanan (Isei.or.id), yaitu (1) anak jalanan yang masih memiliki orang tua dan tinggal dengan orang tua, (2) anak jalanan yang masih memiliki orang tua tapi tidak tinggal dengan orang tua, (3) anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua tapi tinggal dengan keluarga, dan (4) anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarga.

Dalam tulisan ini, Penulis memberikan contoh kecil masalah yang di alami anak-anak jalanan salah satunya Mega. Mega ialah seorang pengamen cilik di daerah Pancoran. Gadis cilik berusia tujuh tahun itu dipaksa ibunya mengamen dengan alat musik seadanya yang terbuat dari kaleng. Ketika Mega beraksi, sang ibu hanya duduk di pinggir jalan. Begitu dapat recehan, Mega setor ke ibunya. Begitu seterusnya. Rupanya si ibu tidak bisa mentolerir bila Mega lengah ketika sedang bekerja. Mega juga ingin bermain seperti yang lainnya. Inilah yang membuat si ibu marah dan tega menampar wajahnya (www.ilma95.com).

Masalah anak jalanan yang di alami di kota besar termasuk Jakarta merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Dalam UU tersebut secara jelas menyebutkan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan

diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, serta perlakuan salah lainnya. Terjadinya pelanggaran terhadap UU ini dengan munculnya anak jalanan umumnya berasal dari satu penyebab, yaitu kemiskinan. Akibat dari kemiskinan ini, anak jalanan berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka.

Tak hanya terbatas kemiskinan sehingga penulis mengangkat masalah sosial anak jalanan, tetapi juga lebih ke arah hakekat dan fungsi dari anak itu sendiri. Masalah anak jalanan ini terutama di Jakarta berkaitan dengan pemutusan masa perkembangan anak. Anak yang seharusnya berada dalam tahap belajar di sekolah baik itu sekolah formal dan non-formal malah harus bekerja yang notabene ialah tugas orang dewasa. Seperti yang diketahui juga anak merupakan aset suatu bangsa. Penulis menganalogikan anak sebagai wajah masa depan bangsa. Tentunya, kita menginginkan wajah ibu pertiwi yang bahagia dan bukan wajah ibu pertiwi yang sedih dan murung seperti sekarang.

Untuk membuat wajah ibu pertiwi yang ceria dan bahagia maka kita harus mau memperhatikan masalah anak jalanan seperti di Jakarta. Dalam hal ini, perlu suatu intervensi sosial yang bersifat berkelanjutan dan memiliki goal yang jelas. Metode intervensi sosial yang harus dilakukan harus memilki dua arah yang berjalan secara bersamaan. Pertama, intervensi sosial harus antisipatif dan preventif. Hal ini bertujuan agar jangan sampai anak terjerumus menjadi anak jalanan. Kedua, intervensi sosial harus bersifat rehabilitatif. Hal ini digunakan pada anak-anak yang sudah menjadi anak jalanan. Kedua metode intervensi sosial tersebut harus memiliki goal yang jelas sehingga bisa dikatakan berbasis hasil, yaitu mengembalikan fungsi anak yang sesungguhnya.

Sumber :

Isei.or.id

www.ilma95.com