Andai Aku Menjadi Ketua KPK “Bersih-bersih di Pekarangan Sendiri, Pekarangan Orang Lain dan Untuk Selamanya”

Kamis, 15 November 2012




Andai Aku Menjadi Ketua KPK
“Bersih-bersih di Pekarangan Sendiri, Pekarangan Orang Lain dan Untuk Selamanya”
Oleh : Muhammad Iqbal

Andai aku menjadi ketua KPK maka yang dilakukan ialah bersih-bersih di pekarangan sendiri yaitu KPK sebagai instansi bebas korupsi. Setelah itu, membersihkan pekarangan orang lain atau memberantas korupsi di berbagai instansi. Terakhir, memberantas korupsi untuk selamanya atau dengan kata lain memberantas korupsi dan mencegahnya menjadi sebuah budaya atau karakter orang Indonesia.

Cara-cara strategis yang dilakukan dalam rangka bersih-bersih tersebut ialah :

  1. Memberantas korupsi yang dilakukan oleh penyidik dan pegawai KPK dengan penguatan organisasi pengawasan internal KPK terkait pembangunan integritas organisasi KPK. Caranya ialah penguatan SOP pengawasan internal dan menempatkan pengawas pengalaman & berintegritas.
  2. Mengembangkan Penilaian  Inisiatif  Anti  Korupsi /PIAK untuk semua instansi dalam bentuk key performance indicators/KPI.
  3. Mengembangkan Sistem Integritas Nasional berwawasan karakter bangsa guna memberantas korupsi menjadi budaya Indonesia.
  4. Pengembangan Fraud Control dan tahun 2014 bisa dilaksanakan sepenuhnya.
  5. KPK harus memiliki kewenangan khusus sebagai lex specialis  dalam pemberantasan korupsi agar tidak ada pertikaian siapa yang berwenang dalam penyelidikan kasus korupsi seperti kasus simulator SIM. Oleh karena itu, perlu didorong pembuatan peraturan perundangan-undangan yang khusus mengatur kewenangan tersebut.

Masalah Pendidikan di Indonesia Ditinjau dari Aspek Mikro “Tidak Berbenah dari Kelas”

Rabu, 07 November 2012



Masalah Pendidikan di Indonesia Ditinjau dari Aspek Mikro
“Tidak Berbenah dari Kelas”
Oleh Muhammad Iqbal

Interaksi Satu Arah dan Perlakuan Sama dari Guru : Masalah Utama
Masalah pendidikan di Indonesia tidak selalu berbicara mengenai pemerataan pendidikan, pembangunan pendidikan, indeks pembangunan manusia atau masalah-masalah lain yang bersifat makro. Dengan kata lain, masalah pendidikan tidak hanya yang bersifat makro tetapi juga dalam lingkup kecil di tingkatan mikro. Dalam hal ini, proses belajar mengajar di kelas merupakan sesuatu yang penting dan sama pentingnya dengan masalah pemerataan pendidikan. Oleh karena itu, proses belajar mengajar tidak boleh dilupakan.
Dalam proses belajar mengajar tentunya harus berbenah pada apa yang terjadi di kelas. Tidak boleh dipungkiri bahwa terkadang siswa memiliki waktu di kelas lebih banyak dibandingkan dengan waktu bersama orang tua ataupun dengan teman sebaya. Dengan demikian, kelas menjadi ruang pembentukan karakter selain tentunya pembentukan kemampuan kognitif dari anak. Oleh karena itu, kelas beserta proses belajar mengajar akan menjadi rezeki bagi kemajuan bangsa jika ditangani dengan baik dan juga akan menjadi malapetaka bagi bangsa jika tida tertangani.
Proses belajar mengajar di kelas secara garis besar menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan tradisional dan non-tradisional. Dalam hal ini, pendekatan tradisional hanya bersifat komunikasi satu arah. Optimalisasi peran guru menjadi sesuatu yang disakralkan dalam pendekatan tradisional ini. Sayangnya, pendekatan tradisional ini justru yang dipraktekan ke dalam pendidikan formal di Indonesia. Pendekataan tradisional dianggap cocok dengan situasi Indonesia dimana satu kelas dapat berisi 40 dan 50 siswa. Ditambah lagi. guru masih jarang terlibat pada penyusunan materi yang diajarkan dan hanya terbatas pada aspek menyampaikan apa saja yang dijawantahkan dalam kurikulum.
Dalam situasi pendidikan formal dengan pendekatan tradisional maka interaksi yang muncul antara guru dan siswa tentunya interaksi formal. Padahal antara siswa satu sama lain memiliki karakteristik yang berbeda. Ditambah lagi perlakuan dari guru terhadap semua siswa di kelas ialah bersifat general walaupun masing-masing dari siswa tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dengan situasi pendidikan formal maka yang muncul hanya generalisasi terrhadap karakteristik siswa seperti gambar dibawah ini :
a1-1

Dalam proses belajar formal maka perlakuan terhadap siswa A dengan karakteristiknya, siswa B dengan karakeristiknya dan siswa C dengan karakterisknya ialah sama. Jika  melihat karakteristik antara siswa A, siswa B dan siswa C ialah berbeda. Bahkan dapat dikatakan bahwa siswa A dan siswa C memiliki masalah sama yaitu sulit menangkap pelajaran tetapi perilaku mereka berbeda, untuk siswa A mudah tersinggung dan emosi sementara siswa C ialah pemalu dan pendiam. Dengan kata lain, memang memiliki masalah yang sama yaitu sulit menangkap pelajaran tetapi tentunya perlakuan antara mereka tetap harus berbeda.
Dalam proses belajar formal, interaksi yang muncul ialah interaksi satu arah dimana guru memperlakukan siswa secara aktif dan siswa menerima apa adanya dengan pasif. Dengan begitu, pemberian materi tentunya hanya bersifat pasif dimana guru menjadi subjek pembelajaran dan murid sebagai objek pembelajaran.
Dengan adanya perlakuan sama oleh guru terhadap siswa bukan semata-mata kesalahan guru. Terdapat label dalam pendidikan formal di Indonesia bahwa guru ialah ‘Superman’ yang sakti dan serba tahu. Davies membuat suatu daftar tugas dan fungsi guru sebagai berikut (Miarso, 2004 : 593) :

        a2-1-1

Dengan melihat daftar di atas maka muncul pertanyaan apakah guru dapat melakukan semua itu. Hanya pendidikan formal di Indonesia yang mempercayai bahwa guru dapat melakukan seperti pada daftar di atas. Daftar fungsi dan tugas guru yang dibuat oleh Davies secara tidak langsung disahkan oleh sistem sehingga guru harus melakukan semua peran seperti daftar di atas.
Singkatnya ialah bahwa masalah mikro dari pendidikan di Indonesia terkait proses belajar dan mengajar ialah komunikasi satu arah di kelas dan perlakuan yang sama dari guru terhadap siswa yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Oleh karena itu, yang mnejadi solusi ialah kebalikannya. Komunikasi satu arah diganti menjadi komunikasi dua arah lalu perlakuan sama diganti dengan perlakuan berbeda yang tidak membedakan. 
Komunikasi Dua Arah dan Perlakukan Berbeda Tetapi Tidak Membedakan : Solusi
Perlu dingat bahwa interaksi antara guru dan siswa tidak hanya terbatas pada hubungan sekedar memberikan materi pelajaran untuk guru dan menerima materi pelajaran untuk siswa. Akan tetapi, terdapat hubungan yang bersifat personal antara guru dan siswa dimana terdapat komunikasi dua arah antara mereka dan bukanlah komunikasi yang bersifat satu arah.
Komunikasi tentunya ada yang bersifat verbal dan non-verbal maka begitu juga dengan komunikasi antara guru dan siswa dimana terdapat yang bersifat verbal dan non-verbal. Dede Rosyada mengatakan bahwa problematika dari bahasa verbal adalah bahasa yang digunakan karena tidak semua kata bermakna kongkret (Dede, 2004 : 151). Dengan kata lain, satu kata dapat dipahami dengan berbagai makna atau ambigu. Hal ini yang tentunya tidak diinginkan dalam proses belajar dan mengajar di kelas. Oleh karena itu, perlu ada alur komunikasi yang jelas dalam proses belajar mengajar seperti yang terdapat dibawah ini (Dede, 2004 : 151) :

a3-1

Dari gambar di atas maka dapat dikatakan bahwa penguatan pesan menjadi sesuatu yang penting dalam komunikasi dua arah antara guru dengan siswa. Pada saat, guru telah menyampaikan pesan yang tentunya telah dipilih dan siswa menerima pesan tersebut serta bereaksi pada pesan tersebut maka guru harus tanggap terhadap reaksi tersebut. Jika pesan dari siswa ialah tidak atau kurang mengerti maka guru harus menyusun ulang kembali pesan tersebut dalam bahasa yang lebih mudah. Jika pesan yang muncul bahwa siswa mengerti terhadap pesan yang diberikan oleh guru, maka tetap harus ada penguatan pesan, minimal dengan bertanya kepada siswa, “apakah anak-anak sudah mengerti ?” atau “bagian mana yang belum jelas ?”.
Pola atraksi tentunya diperhatikan dalam komunikasi antara guru dan siswa. Pola atraksi berarti ialah seberapa besar kedekatan guru dengan siswa. Hal ini ditandai dengan perlakuan dari guru terhadap siswa. Sebelumnya telah dipaparkan bahwa dengan pendekatan tradisional pada proses belajar mengajar formal di Indonesia ditandai perlakuan yang sama dari guru terhadap siswa padahal antara siswa satu dengan yang lain memiliki karakteristik berbeda.
Pola atraksi yang baik tentunya ialah ketika siswa memiliki motivasi belajar, lalu ketika siswa merasakan kehangatan dan keluasaan dalam mengeluarkan unek-unek serta guru menghargai mereka. Hal ini dapat terjadi dengan baik dimulai dari peran guru yang tidak melakukan perlakuan sama terhadap siswa tetapi perlakuan berbeda. Maksud dari perlakuan berbeda bukanlah membedakan antara siswa satu dengan lain tetapi perlakuan dengan melihat karakteristik antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat melihat gambar dibawah ini :

a4 

Pada gambar di atas menunjukkan bahwa siswa A, B dan C memiliki karakteristik yang berbeda. Dengan perlakuan berbeda yang bukan membedakan maka guru akan dekat dengan ketiga siswa tersebut tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Untuk siswa B yang memiliki karakteristik rajin, suka bergaul dan mudah menangkap pelajaran tentunya cukup menggunakan pendekatan yang biasa saja. Sementara itu, siswa A dengan karakteristik emosi tinggi, mudah tersinggung dan sulit menangkap pelajaran tentunya menggunakan pendekatan yang berbeda yaitu menggunakan pendekatan yang lebih demokratis dan tidak otoriter. Begitu juga dengan siswa C yang memiliki karakteristik pendiam, pemalu dan sulit menangkap pelajaran tentunya akan menggunakan pendekatan yang lebih halus.
Komunikasi dua arah dan perlakuan berbeda tetapi tidak membedakan harus digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas. Akan tetapi, untuk mewujudkan kedua hal tersebut akan membutuhkan upaya-upaya yang tidak mudah. Kedua hal tersebut (komunikasi dua arah dan perlakuan berbeda tetapi tidak membedakan) akan terwujud jika mengikuti rekomendasi oleh Hunt antara lain (Dede, 2004 : 152):
  1. Siswa harus dilatih ketrampilan membaca dalam konteks memahami pesan-pesan tertulis yang terdapat dalam bacaan.
  2. Siswa harus dilatih untuk mau dan mampu berbicara dengan baik, mereka harus didorong untuk berbicara dan senantiasa memiliki sesuatu yang sangat penting untuk disampaikan kepada guru, sehingga dia terlatih menyampaikan pendapat dan pandangannya dengan baik.
  3. Guru harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membiasakakan menyampaikan pandangan, pendapat atau berbagai pertanyaaan, baik dengan menggunakan bahasa tulis maupun lisan sehingga mereka terus terlatih untuk menyusun bahasa tulisnya sebaik mereka melatih menyusun bahasa lisannya.
  4. Guru juga harus menata ruangan kelas yang mendukung proses komunikasi kelas dengan baik, sehingga siswa terus terdorong untuk melakukan komunikasi verbal dengan gurunya
  5. Guru juga harus dengan sabar mendengarkan penyampaian mereka atau mempelajari bahasa tulis mereka serta memberi feed back untuk perbaikan ke depan
Masalah Mikro Diselesaikan Secara Mikro
Proses belajar dan mengajar yang diwarnai dengan komunikasi satu arah dan perlakuan sama terhadap siswa yang memiliki karakteristik berbeda ialah masalah mikro dalam proses belajar mengajar di Indonesia. Oleh karena itu, cara penyelesaiannya ialah secara mikro dan bukan secara makro melalui kebijakan. Kebijakan yang ada hanya berstatus membantu tetapi cara penyelesaiannya ialah secara mikro dengan komunikasi dua arah dan perlakuan berbeda tetapi tidak membedakan sebagai solusi.
Sekolah memegang peran penting dalam penyelesaian masalah mikro ini. Dalam hal ini, sekolah berperan untuk menciptakan proses belajar mengajar dengan komunikasi dua arah dan terdapat perlakuan berbeda tetapi tidak membedakan dari guru terhadap siswa. Sekolah yang paling mengetahui karakteristik siswa dan lingkungannya maka sekolah melalui kebijakannya lebih tepat sebagai institution of change daripada mengandalkan upaya-upaya makro dari pemerintah.

Daftar Referensi
Miarso, Yusuf Hadi.2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan (hlm 593). Jakarta :Prenada Media
Rosyada, Dede. 2004.Paradigma Pendidikan Demokratis “Sebuah Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan” (hlm 151). Jakarta :Kencana