Efektivitas penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia beserta Pemasaran Sosial

Senin, 05 Januari 2009



Efektivitas penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Saat ini program-program penanggulangan HIV/AIDS yang ada sudah cukup banyak baik itu bersifat professional maupun charity. Bahkan, pemerintah sudah mengeluarkan strategi nasional 2007-2010 penanggulangan HIV/AIDS. Dalam hal ini, penulis sangat setuju dengan strategi nasional 2007-2010 penanggulangan HIV/AIDS tersebut, melihat sisi mulia atau tujuan baik pada strategi tersebut. Akan tetapi, strategi tersebut pasti akan berbenturan dengan masalah efektivitas, apakah program tersebut dapat berjalan dengan sesuai yang diinginkan dan tepat sasaran. Masalah efektivitas tersebut pastinya akan berlaku pada semua program yang ada pada strategi tersebut yang secara garis besar meliputi upaya preventif, kuratif dan promotif.

Efektivitas preventif pada masalah HIV/AIDS sangat terkait erat dengan seberapa besar cakupan dari upaya preventif tersebut, atau bisa dikatakan area pencegahan dari masalah HIV/AIDS tersebut. Jika strategi nasional tersebut ingin dikatakan efektif maka dalam aplikasi atau tataran praktisnya harus bisa menjangkau empat sasaran area pencegahan, antara lain (www.undp.or.id) : 1. Kelompok tertular, 2. Kelompok berisiko tertular, 3. Kelompok rentan, dan, 4. Masyarakat umum.
Area pertama ialah usaha preventif pada kelompok tertular. Kelompok ini bisa dikatakan benar-benar sudah terkena HIV/AIDS. Jika dilihat secara implisit maka bisa dikatakan bahwa kelompok ini lebih baik diarahkan dan diberikan upaya kuratif saja. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh terdapat juga usaha pencegahan yang khusus untuk kelompok tertular ini. Usaha pencegahan ditujukan untuk mengurangi laju perkembangan hiv, menciptakan individu agar produktif dan meningkatkan kualitas hidup si pengidap HIV/AIDS.

Area kedua ialah kelompok yang berisko terkena HIV/AIDS. Dalam kelompok ini terdapat penjaja seks, pelanggan penjaja seks, waria, homoseksual, IDHU, dan lainnya. Jika dilihat bahwa akar masalah dari kelompok ini ialah bentuk perilaku beresiko mereka maka perlu dilaksanakan upaya pencegahan yang berbentuk health education, yang ditujukan ditujukan untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku aman.

Area ketiga ialah kelompok rentan terkena masalah HIV/AIDS. Kelompok rentan ialah kelompok masyarakat yang karena lingkup pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan terhadap penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja, anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan petugas pelayanan kesehatan (www.undp.or.id). Dalam hal ini, upaya pencegahan pada kelompok ini dengan tujuan agar kelompok rentan ini tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV. Jadi bisa dikatakan bahwa upaya pencegahannya bertujuan unuk menghambat bertambahnya kelompok berisiko.

Area keempat ialah masyarakat umum. Dalam hal ini, peran masyarakat dalam penanggulangan masalah HIV/AIDS ialah sangat penting, hal itu dikarenakan masyarakat merupakan suatu lingkungan sosial yang dapat membentuk perilaku anggota masyarakat di dalamnya. Oleh karena itu, upaya pencegahan lebih difokuskan untuk meningkatkan peningkatkan kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Masalah HIV/AIDS tidak hanya pada aspek pencegahan saja, perlu suatu upaya dimana bisa mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dari pengidap HIV/AIDS. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya kuratif yang bisa mengobati pengidap yang meliputi tiga aspek, yaitu : aspek fisik, psikologi dan sosial. Efektivitas dari upaya kuratif ini seringkali dipertanyakan karena hanya condong pada aspek pengobatan fisik saja, seperti : pemberian obat ARV, dan seringkali upaya kuratif yang bersifat psikologis dan sosial sering terlupakan padahal keduanya merupakan aspek penting, yang wajib dilakukan agar efektivitas dari upaya kuratif masalah HIV/AIDS tetap terjaga.

Pengobatan secara fisik tetap diberlakukan karena bersifat penting, dengan pengembalian tubuh secara bugar maka akan lebih mudah menjalankan rutinitas, namun juga tak melupakan pengobatan secara psikologis dan sosial. Upaya penyembuhan yang bersifat psikologis bisa saja berupa kegiatan konseling dengan tujuan membuat dan memanajemen emosinya menjadi stabil dan tidak stress akibat HIV/AIDS yang dideritanya. Selain itu, bisa saja dibentuk therauputik group dan support group.
Upaya kuratif yang pada aspek sosial juga harus diterapkan pada pengidap HIV/AIDS. Hal itu dengan melihat bahwa pengidap HIV/AIDS mengalami proses labelling oleh masyarakat dimana mereka mendapatkan label buruk sebagai, “orang-orang yang tidak berguna.” Dengan melihat kenyataan tersebut maka upaya kuratif pada aspek sosial, difokuskan pada upaya mendorong pengidap HIV/AIDS agar menjadi produktif dan punya konstribusi terhadap masyarakat. Dengan begitu maka secara tidak langsung akan mengurangi stigma buruk di masyarakat. Upaya kuratif pada aspek sosial pernah dirasakan manfaatnya oleh Nining Ivana yang merupakan pengidap HIV/AIDS (Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“ Kini aku bersyukur bisa bekerja sebagai satu dari tiga kader muda di sebuah puskesmas di Cilincing—sebuah program kerja sama KPAD Jakarta Utara dan IHPCP (Indonesian HIV Prevention and Care Project). Kini aku mengisi hari-hari melakukan penyuluhan, terutama kepada para pemakai narkoba jarum suntik. Honornya cukup buat kebutuhan keseharianku.”

Dari pengalaman Nining Irvana di atas maka bisa dikatakan bahwa upaya kuratif pada aspek sosial terbukti membuat si pengidap HIV/AIDS percaya diri dan menjadi produktif dengan berkonstribusi pada masyarakat.
Efektivitas upaya kuratif juga terkait dengan bentuk pedampingan bagi ODHA. Pada saat sesorang dinyatakan positif terkena HIV maka pada saat itu pula harus dilakukan pedampingan, hal itu dikarenakan pada saat itu, pengidap baru masih bingung dan belum mengerti langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Jika pada ODHA tidak ada suatu pedampingan maka akan membuat pengidap HIV/AIDS menjadi stress dan mengalami kesendirian seperti pengalaman yang dialami oleh Nining Ivana (Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“Aku pun dirujuk ke RSCM, untuk konsultasi lebih lanjut. Kembali dijelaskan bahwa aku diduga terkena HIV. Dokter lagi-lagi hanya meminta aku kembali ke klinik untuk dites kembali. Terpaksalah empat hari kemudian aku kembali menjalani tes yang sama di klinik yang sama dengan hasil yang sama pula. Tiada penjelasan ataupun pendampingan tentang apa saja yang aku persiapkan menghadapi kenyataan harus hidup dengan HIV. Aku merasa sendirian.”


Pengalaman yang dialami oleh Ning Ivana membuktikan bahwa proses pedampingan ialah sangat penting. Dengan adanya proses pedampingan maka pengidap HIV/AIDS tidak terganggu psikologisnya, tidak bingung karena mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan setelah dinyatakan positif HIV. Selain itu, yang juga tak kalah penting bahwa dalam proses pedampingan akan terdapat usaha yang mendorong si pengidap HIV/AIDS menjadi produktif dan berkonstribusi. Jadi bisa dikatakan proses pedampingan merupakan pembuka jalan dan ujung tombak bagi usaha kuratif terutama yang bersifat psikologis dan sosial.

Upaya promotif terhadap masalah HIV/AIDS juga perlu dilihat efektivitasnya. Hal itu sedemikian penting karena upaya promotif tidak hanya pemberian informasi, tetapi dengan adanya informasi dapat berperan sebagai kerangka kognitif yang dapat mengubah gaya hidup dan meningkatkan kontrol untuk menghindari dari bahaya HIV/AIDS. Kurangnya promosi kesehatan pernah di alami oleh Nining Ivana (Bulletin Pekerja migrant dan HIV/AIDS, maret 2007, ILO Jakarta ) :

“Awalnya, aku sendiri tak tahu dari mana penyakit ini bisa menggerogoti tubuhku. Dengan sabar pegiat LSM tersebut mendampingiku, memberikan beberapa penjelasan. Aku pun teringat, selama tiga tahun saat di sekolah menengah pertama aku suka memakai narkoba jarum suntik. Satu jarum suntik bisa dipakai bergantian untuk menghemat. Baru aku tahu, HIV bisa menular lewat cara itu. Aku dulu mengira HIV hanya akrab dengan kaum gay, pekerja seks atau penganut seks bebas. Ternyata aku salah besar. Kendati sudah berhubungan seksual sejak di sekolah menengah, aku selalu SETIA dengan pasanganku. Tapi aku tidak tahu ternyata ada cara untuk melakukan hubungan seks yang aman. Kemungkinan besar aku terkena HIV jauh sebelum berangkat ke Malaysia.”


Dari pengalaman yang di alami oleh Nining Ivana maka bisa dikatakan upaya promotif yang ada masih minim. Akibatnya berdampak pada kerangka kognitif yang kurang pada masalah HIV/AIDS dan akan lebih mudah cenderung untuk melakukan perilaku beresiko.
Dalam hal ini, efektivitas upaya promotif dilihat jika memiliki pengaruh dan berdampak pada pola perilaku, yaitu gaya hidup sehat dan menghindari perilaku beresiko. Hal itu juga sangat terkait erat dengan sasaran dari upaya promotif tersebut yang meliputi kelompok Kelompok tertular, kelompok berisiko tertular, kelompok rentan dan masyarakat umum. Upaya promotif tersebut lebih di arahkan pada KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), yang memiliki goal terhadap perubahan tingkah laku dan gaya hidup.

Pemanfaatan media massa sebagai sarana upaya promotif juga perlu ditingkatakan kuantitas dan kualitasnya, demi meningkatkan efektivitas upaya promotif. Seperti diketahui, media massa dapat menjangkau semua orang tanpa melihat satuan geografis, dan juga dapat lebih cepat diserap oleh masyarakat daripada sarana sosialisasi lain. Jadi diharapkan media massa bisa berperan sebagai pemasaran sosial mengenai bahaya HIV/AIDS and bentuknya bisa berupa iklan. Oleh karena itu, perlu dikemas penyampaian bahaya HIV/AIDS tersebut menjadi sedemikian menarik dan tentunya juga melihat dari kapasitas dari iklan bahaya HIV/AIDS agar bisa menjadi kerangka kognitif untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.

3.2. Upaya promotif pada kelas X1IPA 3 SMA Putra Bangsa dilihat dari pendekatan sosiologi (Temuan Lapangan).

Seperti yang sudah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya bahwa upaya promotif memegang peranan penting sebagai sarana pemberian informasi yang bisa menjadi kerangka kognitif guna terjadinya perubahan gaya hidup menjadi lebih sehat. Penulis yang dibantu kelompok dalam mata kuliah Masalah Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial diberikan kesempatan untuk melakukan promosi kesehatan bahaya HIV/AIDS di kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa, yang telah dilakukan pada hari rabu, 3 Desember 2008 kemarin. Salah satu kegiataannya ialah dengan pre-test dan post-test. Hasil pretest menunjukkan bahwa hanya 10 orang yang menyatakan tahu mengenai HIV/AIDS. Walaupun begitu, pengetahuan yang mereka miliki bisa dikatakan sangat sederhana. Selain itu juga, terdapat pertanyaan yang diajukan oleh siswa dalam interaksi tanya jawab, yang menunjukkan bahwa mereka masih awam untuk masalah HIV/AIDS. Seperti pertanyaan :

”Kak....HIV itu sama dengan civilis yaa...?.” atau ”kak....Kalo kena HIV itu pasti akan meninggal yaa..?.”

Dari pertanyaan yang diajukan mencerminkan bahwa mereka belum mengetahui HIV dan AIDS dan bedanya dengan penyakit lain seperti civilis, yang tak lain ialah gejala yang sering ditemui ketika sudah masuk tahap/gejala AIDS. Mereka juga masih memiliki pola pikir bahwa setelah terkena HIV/AIDS maka semua akan berakhir dan siap-siap menuju kematian, padahal jika hidup sehat maka akan mencegah HIV tersebut melebar menjadi AIDS.

Dalam pre-test tersebut banyak dari mereka hanya menyatakan bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit menular tanpa definisi lebih detail mengenai HIV/AIDS. Mereka juga tak dapat membedakan antara HIV dan AIDS. Menurut mereka penyebab HIV/AIDS hanya sebatas dari jarum suntik dan seks bebas. Sedangkan, pencegahannya dengan pengunaan alat kontrasepsi. Selain itu, mereka juga mengungkapkan bahwa sex promotion dan sex education di sekolah sangat minim didapatkan. Oleh karena itu, mereka merasa butuh akan penyuluhan atau kampanye untuk memperluas pengetahuan yang bisa menjadi kerangka kognitif untuk tindakan pencegahan HIV/AIDS. Setelah diberikan intervensi oleh penulis beserta kelompok melalui pemutaran film, presentasi dan interaksi tanya-jawab, maka post test yang diberikan menunjukkan hasil signifikan. Bisa dikatakan bahwa intervensi yang telah dilakukan penulis beserta kelompok dapat memberikan perubahan terhadap pengetahuan peserta mengenai HIV/AIDS. Sebagian besar dari mereka telah paham tentang AIDS dan mampu menjelaskan definisi HIV/AIDS dengan tepat dan membedakan HIV dengan AIDS.

Dalam, melakukan kegiatan promosi kesehatan mengenai bahaya HIV/AIDS, penulis juga melakukan kegiatan tersebut berdasarkan pendekatan sosiologi kesehatan seperti penggunaan teori sosial. Teori Sosial yang mendasari penulis beserta kelompok ketika melakukan kegiatan health promotion ialah teori sosial yang diungkapkan oleh Leviton (Kamanto, 2001: 7.16-7.17), antara lain : 1. Teori-teori kognitif dan pengambilan keputusan, dan 2. Teori-teori Pembangkit rasa takut.

Teori-teori kognitif dan pengambilan keputusan

Teori ini berasumsi bahwa manusia merupakan pelaku rasional yang memperoleh informasi. Selanjutnya diasumsikan bahwa apabila manusia memperoleh informasi yang benar maka pengetahuan, sikap, keyakinan dan perilaku mereka akan berubah. Dengan demikan strategi penanggulangan HIV/AIDS dapat berupa pemberitaan informasi yang akurat dan lengkap mengenai resiko infeksi HIV/AIDS agar orang dapat secara rasional mempertimbangkan konsekuensi perilakunya dan kemudian memutuskan untuk menghindari atau mengurangi perilaku resiko tinggi.

Dalam hal ini, penulis beserta kelompok telah menggunakan teori-teori kognitif dan pengambilan keputusan dalam melakukan health promotion di kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa, bahkan penulis beserta kelompok mengakui porsi penggunaan teori ini dalam kegiatan tersebut cukup besar. Media dan saluran komunikasi sebagai alat sosialisasi menjadi sangat penting untuk terakomodirnya teori kognitif dan pengambilan keputusan, dan yang berperan besar di sini ialah pemutaran film dan persentasi.
Film tentang bahaya HIV/Aids didapatkan oleh penulis dan kelompok dari BNN dan inti film tersebut ialah bahaya HIV/Aids dan juga ada keterkaitannya dengan narkoba sebagai penyumbang terbesar jumlah penderita HIV/Aids di Indonesia. Dalam film tersebut ditampilkan cukup jelas mengenai masalah HIV/Aids mulai dari penyebabnya, penyebarannya, dan juga dampaknya baik itu fisik maupun sosial. Film tersebut dikemas dan disajikan dengan cukup baik sehingga tidak membosankan bagi siswa. Hal itu terlihat dari keseriusan mereka menonton film tersebut, bahkan bisa dikatakan terbawa oleh alur film tersebut. Jika dalam di film tersebut, ada hal yang dianggap lucu maka mereka tertawa, dan jika ada adegan yang menjijikan maka mereka serempak berkata, “iih..”.

Logikanya, jika mereka telah tertawa dan serius melihat film tersebut maka mereka akan mendapatkan informasi yang cukup bagi kerangka kognitif mereka. Dengan begitu, mereka akan punya dasar dan kerangka kognitif yang cukup kuat untuk menentukan perilaku mereka agar tidak melakukan perilaku yang beresiko terkena HIV/Aids.
Presentasi yang telah dilakukan penulis beserta kelompok juga bisa dikatakan sebagai media sosialisasi informasi mengenai bahaya HIV/Aids, walaupun kelompok mengakui presentasi tersebut hanya memakan waktu yang sedikit dibandingkan kegiatan lainnya.

Walaupun begitu, presentasi ini tetap termasuk dalam teori kognitif dan pengambilan keputusan Levitan. Dalam presentasi ini bisa dikatakan hanya melengkapi informasi yang terdapat pada film karena pada film tersebut sudah sangat cukup lengkap mengenai HIV/Aids. Jadi bisa dikatakan, apabila di atas sudah disebutkan bahwa film telah membrikan informasi yang menjadi dasar kerangka kognitif siswa, maka presentasi ini berfungsi menjadi pelengkap informasi dan pemicu keyakinan pada siswa agar berkata dalam hati dan ucapan, “say no to risk behavioral.” Penulis beserta kelompok juga mengharapkan mereka juga melanjutkannya ke tahap perbuatan, karena mereka sudah mempunyai dasar dan kerangka yang cukup mengenai HIV/Aids.
Selain itu, kegiatan pre-test dan post-test yang telah dijawab oleh siswa menjadi tolak ukur seberapa besar pengetahuan/ kognitif mereka mengenai HIV/Aids. Hal itu menjadi penting karena kerangka kognitif menjadi dasar atau landasan untuk berperilaku.

Teori-teori pembangkitkan rasa takut

Teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi berasumsi bahwa perilaku manusia ditentukan oleh proses-proses di dalam diri manusia. Dengan demikian strategi penanggulangan HIV/AIDS yang dapat ditempuh ialah, misalnya, dengan pemberian informasi mengenai infeksi HIV/AIDS agar emosi seperti rasa takut terinfeksi akan mendorong seseorang untuk menghindari ataupun mengurangi perilaku resiko tinggi.
Dalam hal ini, penulis beserta kelompok telah menggunakan teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi dalam kegiatan health promotion pada kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa.

Media dan saluran informasi yang telah mengakomodir aplikasi dari teori ini ialah film. Pada film tersebut terdapat tayangan atau display yang meperlihatkan korban yang terkena HIV/Aids dilihat secara fisik. Tayangan tersebut menimbulkan rasa takut, geli dan menjijikan bagi siswa. Hal tersebut bisa dilihat dari raut wajah mereka dan perkatan, “Iih…” secara serempak. Selain itu, tayangan tersebut juga memperlihatkan dampak sosial dari pengguna HIV/Aids, seperti : stigma sosial kepada Odha, yang cukup membuat takut siswa.

Kegiatan health promotion pada kelas X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa mengenai HIV/Aids dengan menggunakan teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi bisa dikatakan sejenis cambuk terhadap sasarannya agar mengikutinya dan hal tersebut tidak terdapat pada teori sebelumnya (teori teori kognitif dan pengambilan keputusan). Dalam teori kognitif dan pengambilan keputusan yang telah dijelaskan di atas, disebutkan bahwa telah terjadi pemberian informasi mengenai HIV/Aids, dan selanjutnya telah menjadi dasar atau landasan kognitif siswa agar tidak berperilaku resiko. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan ialah, “kapan mereka memulai dan menentukan sikap/perilaku ?.” Dengan begitu, perlu dicari jawabannya agar siswa X1 IPA 3 SMA Putra Bangsa dalam waktu tidak lama, bisa menentukan sikap mereka agar tidak berperilaku resiko HIV/Aids. Oleh karena itu, kelompok menggunakan teori pembangkit rasa takut, motivasi dan emosi dalam promotion health agar mempercepat tempo mereka untuk menentukan sikap mereka agar tidak berperilaku resiko HIV/Aids, walaupun bisa dikatakan telah terjadi pemaksaan secara halus dengan membangkitkan rasa takut dan emosi mereka melalui pemutaran film.

0 komentar:

Posting Komentar