Masalah Pendidikan di Indonesia Ditinjau dari Aspek
Mikro
“Tidak Berbenah dari Kelas”
Oleh
Muhammad Iqbal
Interaksi
Satu Arah dan Perlakuan Sama dari Guru : Masalah Utama
Masalah pendidikan di Indonesia tidak selalu
berbicara mengenai pemerataan pendidikan, pembangunan pendidikan, indeks
pembangunan manusia atau masalah-masalah lain yang bersifat makro. Dengan kata
lain, masalah pendidikan tidak hanya yang bersifat makro tetapi juga dalam
lingkup kecil di tingkatan mikro. Dalam hal ini, proses belajar mengajar di
kelas merupakan sesuatu yang penting dan sama pentingnya dengan masalah
pemerataan pendidikan. Oleh karena itu, proses belajar mengajar tidak boleh
dilupakan.
Dalam proses belajar mengajar tentunya harus
berbenah pada apa yang terjadi di kelas. Tidak boleh dipungkiri bahwa terkadang
siswa memiliki waktu di kelas lebih banyak dibandingkan dengan waktu bersama
orang tua ataupun dengan teman sebaya. Dengan demikian, kelas menjadi ruang
pembentukan karakter selain tentunya pembentukan kemampuan kognitif dari anak.
Oleh karena itu, kelas beserta proses belajar mengajar akan menjadi rezeki bagi
kemajuan bangsa jika ditangani dengan baik dan juga akan menjadi malapetaka
bagi bangsa jika tida tertangani.
Proses belajar mengajar di kelas secara garis besar
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan tradisional dan non-tradisional. Dalam
hal ini, pendekatan tradisional hanya bersifat komunikasi satu arah.
Optimalisasi peran guru menjadi sesuatu yang disakralkan dalam pendekatan
tradisional ini. Sayangnya, pendekatan tradisional ini justru yang dipraktekan
ke dalam pendidikan formal di Indonesia. Pendekataan tradisional dianggap cocok
dengan situasi Indonesia dimana satu kelas dapat berisi 40 dan 50 siswa. Ditambah
lagi. guru masih jarang terlibat pada penyusunan materi yang diajarkan dan
hanya terbatas pada aspek menyampaikan apa saja yang dijawantahkan dalam
kurikulum.
Dalam situasi pendidikan formal dengan pendekatan
tradisional maka interaksi yang muncul antara guru dan siswa tentunya interaksi
formal. Padahal antara siswa satu sama lain memiliki karakteristik yang
berbeda. Ditambah lagi perlakuan dari guru terhadap semua siswa di kelas ialah
bersifat general walaupun masing-masing dari siswa tentunya memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Dengan situasi pendidikan formal maka yang
muncul hanya generalisasi terrhadap karakteristik siswa seperti gambar dibawah
ini :
Dalam proses belajar formal maka perlakuan terhadap
siswa A dengan karakteristiknya, siswa B dengan karakeristiknya dan siswa C dengan
karakterisknya ialah sama. Jika melihat
karakteristik antara siswa A, siswa B dan siswa C ialah berbeda. Bahkan dapat
dikatakan bahwa siswa A dan siswa C memiliki masalah sama yaitu sulit menangkap
pelajaran tetapi perilaku mereka berbeda, untuk siswa A mudah tersinggung dan
emosi sementara siswa C ialah pemalu dan pendiam. Dengan kata lain, memang
memiliki masalah yang sama yaitu sulit menangkap pelajaran tetapi tentunya
perlakuan antara mereka tetap harus berbeda.
Dalam proses belajar formal, interaksi yang muncul
ialah interaksi satu arah dimana guru memperlakukan siswa secara aktif dan
siswa menerima apa adanya dengan pasif. Dengan begitu, pemberian materi
tentunya hanya bersifat pasif dimana guru menjadi subjek pembelajaran dan murid
sebagai objek pembelajaran.
Dengan adanya perlakuan sama oleh guru terhadap
siswa bukan semata-mata kesalahan guru. Terdapat label dalam pendidikan formal
di Indonesia bahwa guru ialah ‘Superman’ yang sakti dan serba tahu. Davies
membuat suatu daftar tugas dan fungsi guru sebagai berikut (Miarso, 2004 : 593)
:
Dengan melihat daftar di atas maka muncul pertanyaan
apakah guru dapat melakukan semua itu. Hanya pendidikan formal di Indonesia
yang mempercayai bahwa guru dapat melakukan seperti pada daftar di atas. Daftar
fungsi dan tugas guru yang dibuat oleh Davies secara tidak langsung disahkan
oleh sistem sehingga guru harus melakukan semua peran seperti daftar di atas.
Singkatnya ialah bahwa masalah mikro dari pendidikan
di Indonesia terkait proses belajar dan mengajar ialah komunikasi satu arah di
kelas dan perlakuan yang sama dari guru terhadap siswa yang memiliki
karakteristik berbeda-beda. Oleh karena itu, yang mnejadi solusi ialah
kebalikannya. Komunikasi satu arah diganti menjadi komunikasi dua arah lalu
perlakuan sama diganti dengan perlakuan berbeda yang tidak membedakan.
Komunikasi
Dua Arah dan Perlakukan Berbeda Tetapi Tidak Membedakan : Solusi
Perlu dingat bahwa interaksi antara guru dan siswa
tidak hanya terbatas pada hubungan sekedar memberikan materi pelajaran untuk
guru dan menerima materi pelajaran untuk siswa. Akan tetapi, terdapat hubungan
yang bersifat personal antara guru dan siswa dimana terdapat komunikasi dua
arah antara mereka dan bukanlah komunikasi yang bersifat satu arah.
Komunikasi tentunya ada yang bersifat verbal dan
non-verbal maka begitu juga dengan komunikasi antara guru dan siswa dimana
terdapat yang bersifat verbal dan non-verbal. Dede Rosyada mengatakan bahwa
problematika dari bahasa verbal adalah bahasa yang digunakan karena tidak semua
kata bermakna kongkret (Dede, 2004 : 151). Dengan kata lain, satu kata dapat
dipahami dengan berbagai makna atau ambigu. Hal ini yang tentunya tidak
diinginkan dalam proses belajar dan mengajar di kelas. Oleh karena itu, perlu
ada alur komunikasi yang jelas dalam proses belajar mengajar seperti yang
terdapat dibawah ini (Dede, 2004 : 151) :
Dari gambar di atas maka dapat dikatakan bahwa
penguatan pesan menjadi sesuatu yang penting dalam komunikasi dua arah antara
guru dengan siswa. Pada saat, guru telah menyampaikan pesan yang tentunya telah
dipilih dan siswa menerima pesan tersebut serta bereaksi pada pesan tersebut
maka guru harus tanggap terhadap reaksi tersebut. Jika pesan dari siswa ialah
tidak atau kurang mengerti maka guru harus menyusun ulang kembali pesan
tersebut dalam bahasa yang lebih mudah. Jika pesan yang muncul bahwa siswa
mengerti terhadap pesan yang diberikan oleh guru, maka tetap harus ada
penguatan pesan, minimal dengan bertanya kepada siswa, “apakah anak-anak sudah
mengerti ?” atau “bagian mana yang belum jelas ?”.
Pola atraksi tentunya diperhatikan dalam komunikasi
antara guru dan siswa. Pola atraksi berarti ialah seberapa besar kedekatan guru
dengan siswa. Hal ini ditandai dengan perlakuan dari guru terhadap siswa. Sebelumnya
telah dipaparkan bahwa dengan pendekatan tradisional pada proses belajar
mengajar formal di Indonesia ditandai perlakuan yang sama dari guru terhadap
siswa padahal antara siswa satu dengan yang lain memiliki karakteristik
berbeda.
Pola atraksi yang baik tentunya ialah ketika siswa
memiliki motivasi belajar, lalu ketika siswa merasakan kehangatan dan keluasaan
dalam mengeluarkan unek-unek serta guru menghargai mereka. Hal ini dapat
terjadi dengan baik dimulai dari peran guru yang tidak melakukan perlakuan sama
terhadap siswa tetapi perlakuan berbeda. Maksud dari perlakuan berbeda bukanlah
membedakan antara siswa satu dengan lain tetapi perlakuan dengan melihat
karakteristik antara siswa yang satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya
dapat melihat gambar dibawah ini :
Pada gambar di atas menunjukkan bahwa siswa A, B dan
C memiliki karakteristik yang berbeda. Dengan perlakuan berbeda yang bukan
membedakan maka guru akan dekat dengan ketiga siswa tersebut tetapi dengan pendekatan
yang berbeda. Untuk siswa B yang memiliki karakteristik rajin, suka bergaul dan
mudah menangkap pelajaran tentunya cukup menggunakan pendekatan yang biasa
saja. Sementara itu, siswa A dengan karakteristik emosi tinggi, mudah
tersinggung dan sulit menangkap pelajaran tentunya menggunakan pendekatan yang
berbeda yaitu menggunakan pendekatan yang lebih demokratis dan tidak otoriter.
Begitu juga dengan siswa C yang memiliki karakteristik pendiam, pemalu dan
sulit menangkap pelajaran tentunya akan menggunakan pendekatan yang lebih
halus.
Komunikasi dua arah dan perlakuan berbeda tetapi
tidak membedakan harus digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas. Akan
tetapi, untuk mewujudkan kedua hal tersebut akan membutuhkan upaya-upaya yang
tidak mudah. Kedua hal tersebut (komunikasi dua arah dan perlakuan berbeda
tetapi tidak membedakan) akan terwujud jika mengikuti rekomendasi oleh Hunt
antara lain (Dede, 2004 : 152):
- Siswa
harus dilatih ketrampilan membaca dalam konteks memahami pesan-pesan
tertulis yang terdapat dalam bacaan.
- Siswa
harus dilatih untuk mau dan mampu berbicara dengan baik, mereka harus
didorong untuk berbicara dan senantiasa memiliki sesuatu yang sangat
penting untuk disampaikan kepada guru, sehingga dia terlatih menyampaikan
pendapat dan pandangannya dengan baik.
- Guru
harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membiasakakan menyampaikan
pandangan, pendapat atau berbagai pertanyaaan, baik dengan menggunakan
bahasa tulis maupun lisan sehingga mereka terus terlatih untuk menyusun
bahasa tulisnya sebaik mereka melatih menyusun bahasa lisannya.
- Guru
juga harus menata ruangan kelas yang mendukung proses komunikasi kelas
dengan baik, sehingga siswa terus terdorong untuk melakukan komunikasi
verbal dengan gurunya
- Guru
juga harus dengan sabar mendengarkan penyampaian mereka atau mempelajari
bahasa tulis mereka serta memberi feed
back untuk perbaikan ke depan
Masalah Mikro Diselesaikan Secara
Mikro
Proses belajar dan mengajar yang diwarnai dengan
komunikasi satu arah dan perlakuan sama terhadap siswa yang memiliki
karakteristik berbeda ialah masalah mikro dalam proses belajar mengajar di
Indonesia. Oleh karena itu, cara penyelesaiannya ialah secara mikro dan bukan
secara makro melalui kebijakan. Kebijakan yang ada hanya berstatus membantu
tetapi cara penyelesaiannya ialah secara mikro dengan komunikasi dua arah dan
perlakuan berbeda tetapi tidak membedakan sebagai solusi.
Sekolah memegang peran penting dalam penyelesaian
masalah mikro ini. Dalam hal ini, sekolah berperan untuk menciptakan proses
belajar mengajar dengan komunikasi dua arah dan terdapat perlakuan berbeda
tetapi tidak membedakan dari guru terhadap siswa. Sekolah yang paling
mengetahui karakteristik siswa dan lingkungannya maka sekolah melalui
kebijakannya lebih tepat sebagai institution
of change daripada mengandalkan upaya-upaya makro dari pemerintah.
Daftar
Referensi
Miarso, Yusuf Hadi.2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan (hlm
593). Jakarta :Prenada Media
Rosyada, Dede. 2004.Paradigma Pendidikan Demokratis “Sebuah
Model Pelibatan Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pendidikan” (hlm 151).
Jakarta :Kencana