Toleransi Dalam ‘Lakum Dinukum
Waliyadin’
Oleh Muhammad Iqbal
Diikutsertakan Dalam Sayembara Esai Ahmad Wahib 2012
Merukunkan atau Memecahkan?
Jika Ahmad Wahib berandai-andai bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dalam
catatan hariannya maka penulis ingin sekali bertemu dengan Ahmad Wahib dan
menanyakan makna dari ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ dalam pengalaman dan
pemahamannya. Jika melihat catatan hariannya maka penulis yakin bahwa Ahmad
Wahib setuju bahwa ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ bermakna toleransi.
Jika mengartikan ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ secara telanjang maka
ayat ini seolah-olah menjadi pemisah dari perbedaan yang ada. Dengan kata lain,
agama saya A maka saya beribadah dengan cara A dan agama anda B maka anda
beribadah dengan cara B. Pemahaman telanjang ini tidak salah tetapi tidak tepat
karena harus diketahui bahwa ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ bermakna jangan anda
mencampuri urusan agama B padahal agama anda A. Jangan ikut campur berarti
toleransi dan hal ini yang masih sulit ditemukan dalam praktek berkehidupan
bernegara di Indonesia dan tentunya memperbesar jurang guna terciptanya
kerukunan antar umat beragama. Jadi dapat dikatakan bahwa ‘Lakum Dinukum Waliyadin’
berarti merukunkan.
Pristiwa-pristiwa yang terjadi di Indonesia saat ini seperti penyerangan
fisik terhadap Ahmadiyah dan tercabutnya hak-hak beribadah GKI Yasmin dan HKBP
Filadelfia ialah kondisi yang tidak sama sekali mencerminkan civic pluralism. Lebih jauh lagi, pertengkaran
antar umat beragama sama sekali tidak mencerminkan ‘Lakum Dinukum Waliyadin.’
Pertengkaran dengan sesama manusia berarti mencoret wajah Tuhan karena
menurut Bible manusia diciptakan menurut wajah Tuhan. Dalam Al Quran tidak ada
pernyataan seperti itu, tetapi dalam sebuah hadis riwayat Bukhari mengatakan (Nurcholish
Madjid dalam Budhy Munawar, 2011: 3583), “Kalau kamu bertengkar hindarilah
wajah, karena wajah manusia itu diciptakan menurut wajah Tuhan.” Begitu juga,
banyak ulama Indonesia yang menyandang gelar KH, tetapi pekerjaannya ialah
menghina agama lain dengan mengatasnamakan tauhid, maka dapat dikatakan telah
melupakan makna ‘Arafah’ ketika mereka pergi haji. Seperti yang diketahui bahwa
Arafah mencerminkan nilai kemanusian universal dimana semua manusia berkumpul
tanpa memandang golongan dan etnis.
Breakdown of communication adalah sesuatu yang dihindari oleh Ahmad Wahib. Oleh karena itu, Ahmad
Wahib dalam catatan hariannya pada tanggal 9 Pebruari 1970 menyerukan agar
tokoh/sarjana Muslim untuk mengambil inisiatif dialog guna menghindari jurang
komunikasi antara sesama muslim (Djohan dan Natsir, 2012 : 62-63). Sebenarnya,
terdapat forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia yang merupakan perkumpulan
ulama-ulama Se-Indonesia guna membahas permasalahan kontemporer. Pada tanggal
29 Juni-2 Juli telah dilaksanakan forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI
Se-Indonesia IV. Jika dapat memainkan perannya secara efektif maka forum Ijtima
Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia dapat menghapus kekhawatiran Ahmad Wahib di
masa kini mengenai breakdown of communication.
Ahmad Wahib menyinggung perihal gap
communication pada catatan hariannya tanggal 11 Pebruari 1970. Dapat
disadari bahwa gap communication yang
terjadi dalam internal kaum Muslim sendiri dikhawatirkan akan terbawa dalam
hubungannya dengan umat agama lain. Jangan sampai terjadi ‘Lakum Dinukum
Waliyadin’ sebagai semboyan pembeda akibat terjadinya gap communication sehingga pemikiran-pemikiran
bebas akan menjadi sulit dikembangkan. Lebih jauh lagi, jangan tercipta gap communication yang dimanfaatkan oleh
beberapa oknum dengan beberapa kepentingannya.
‘Lakum Dinukum Waliyadin’ berarti memecahkan apabila digunakan untuk
kepentingan tertentu. ‘Lakum Dinukum
Waliyadin’ yang digunakan untuk kepentingan politik, ekonomi dan lainnya
akan berpotensi memutuskan ukhuwah fi basyariah (persaudaraan sesama manusia) dan
ukhuwah fi wathaniah (persaudaraan sesama warganegara). Jadi yang salah bukan
esensi dari ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ tetapi penggunaannya yang
dijadikan legalisasi atas nama kepentingan tertentu. Bahkan lebih buruk lagi,
mengatasnamakan kepentingan Tuhan dan hal ini tentunya salah karena pada
hakekatnya Tuhan tidak berkepentingan jika dipahami kepentingan dalam konteks
kepentingan manusia. Apakah Tuhan melakukan kompromi dengan lainnya untuk
menciptakan sesuatu dan tentunya saja jawabannya ialah tidak. Tidak seperti
manusia yang selalu berkompromi dan menghilangkan esensi demi kepentingan tertentu.
Kerukunan ialah hasil, merukunkan ialah proses, maka toleransi ialah
referensi. Toleransi adalah referensi bagi upaya merukunkan untuk terciptanya
kerukunan antar umat beragama. Makna toleransi dijelaskan terperinci pada QS Al-Mumtahanah
ayat 8 dan 9. Dalam kedua ayat tersebut dijelaskan secara tegas bahwa Allah
tidak melarang Muhammad dan para pengikutnya untuk berbuat baik dengan kelompok
agama lain. Pada ayat 8 surat al-Mumtahanah terdapat kata muqisthin yang mengandung arti “orang-orang yang berlaku adil.” Lebih
jauh lagi menurut Hamka, kata al-qisth (akar
dari al-muqsithin) memiliki arti yang
lebih luas dari kata al-‘adl. Kata al-‘adl berarti keadilan hanya dipakai di saat
memberikan keputusan. Sedangkan kata al-qisth
meliputi pengertian yang lebih luas daripada keadilan yaitu mencangkup
pergaulan hidup. Tegasnya berbuat baik dengan tetangga sesama orang muslim maka
harus melakukan hal yang sama dengan tetangga non-muslim (Hamka dalam
Kholisuddin. 2004 : 54).
Jika toleransi ialah referensi maka kedua ayat ini menjadi referensi
untuk memahami dan menggunakan toleransi dalam kehidupan sehari-hari dalam
rangka terciptanya kerukunan melalui proses merukunkan. Proses merukunkan ini
dapat terjadi tanpa intervensi atau dengan kata lain dibiarkan saja tetapi
dapat juga melalui intervensi terutama intervensi pemerintah dalam hal ini
ialah bagaimana Negara dapat menciptakan sistem dan kebijakan yang pro
kerukunan dengan menjunjung nilai-nilai demokrasi.
‘Lakum Dinukum Waliyadin’ Dalam Demokrasi
‘Lakum Dinukum Waliyadin’ adalah
esensi dan sekulerisme adalah salah satu cara pandang memahaminya. Dalam hal
ini, sepakat juga dengan Alfred Stepan dalam Zuhairi (2011: 7) bahwa
sekularisme bukan pemisahan agama dengan Negara tetapi ialah jaminan kebebasan,
baik bagi institusi demokrasi dan institusi keagamaan, sebagaimana dikenal
dalam paradigma “toleransi kembar”. Lebih jauh lagi, Ahmad Wahib dalam catatan
hariannya tanggal 20 Maret 1970 mengatakan bahwa sekularisasi merupakan proses
sosiologis yang tidak bisa dicegah (Djohan dan Natsir, 2012 : 78). Akan tetapi,
yang terpenting tidak terbatas pada pemaknaan secara filosofis mengenai
sekularisme dan sekularisasi tetapi juga penerapannya secara filosofis melalui
proses merukunkan. Dalam hal ini, proses merukunkan adalah cara untuk
mewujudkan terciptanya “toleransi kembar” tersebut.
‘Lakum Dinukum Waliyadin’ dalam demokrasi di Indonesia terkait
proses merukunkan dapat dipahami menjadi dua tataran yaitu tataran
konstitusional dan kebijakan. Tataran konstitusional terkait dengan Pancasila
dan UUD 1945, sedangkan dalam tataran kebijakan terkait dengan pembangunan
(pemberdayaan politik organisasi masyarakat keagamaan) dan pendidikan
(pendidikan pluralisme).
1.
‘Lakum Dinukum Waliyadin’ Dalam Tataran Konstitusional
Pancasila merupakan ideologi Negara Indonesia
yang bersifat terbuka. Kedudukan Pancasila sebagai landasan konstitusional
tidak perlu dibantah lagi dan menjadi landasan dasar bagi masyarakat plural
Indonesia. Pancasila menjamin kebebasan berumat beragama dan ditunjukkan pada
sila pertama. Dengan kata lain, Ketuhanan yang Maha Esa dapat dipahami sebagai ‘Lakum
Dinukum Waliyadin’.
Nurcholish Madjid pernah mengkritik mendiang Dr.
Walter Bonar Sidjabat yang melihat Islam sebagai halangan pluralisme di negeri
ini. Sidjabat memandang bahwa ajaran Islam pada tabiatnya berlawanan dengan
dasar Negara Pancasila. Mendiang Dr. Walter Bonar Sidjabat mengatakan bahwa
gangguan tersebut muncul dari perbedaan “Weltanschauung ” Islam dan “
Weltanschauung ” Pancasila. Lebih jauh lagi, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa
pendapat tersebut bias (Nurcholish Madjid dalam Budhy Munawar, 2012:
1171-1172). Dengan kata lain, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan bukan sekedar pada
“Tuhan Yang Mahakuasa.”
Jadi dapat dikatakan bahwa tidak ada yang
salah dengan Pancasila sebagai idelogi terbuka dengan kelengkapan
konstitusionalnya. Esensi dan nilai-nilai Islam telah terakomodir dalam Pancasila
secara ideologis sehingga tidak perlu repot lagi membuat ideologi Islam sebagai
ideologi baru untuk Indonesia seperti yang diperjuangkan beberapa orang.
“Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti ‘Lakum
Dinukum Waliyadin’ dikonversi secara terperinci pada UUD 1945 dalam
bentuk pasal-pasal. Lebih jauh lagi, pasal 29 UUD 1945 telah menunjukkan muatan
nilai plural sehingga sama seperti Pancasila tidak diperlukan lagi pembuatan
landasan operasional berupa undang-undang dasar Islam.
UUD 1945 bersifat adaptif dan memungkinkan
terciptanya amandemen. Pada tahun ini yaitu tahun 2012 tidak diperlukan
amandemen walaupun dalam rangka memasukkan nilai-nilai plural. UUD 1945
dibentuk sebagai landasan operasional bagi masyarakat untuk berperilaku dan sampai
sekarang masih menjadi landasan operasional bagi masyarakat untuk berperilaku
plural sehingga tidak perlu diubah. Akan tetapi, untuk tahun kedepannya tetap
dimungkinkan terciptanya amandemen pasal-pasal UUD 1945 yang menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat guna terciptanya kerukunan di masyarakat.
Negara Islam lalu Ideologi Negara Islam dan
Undang-undang Dasar Islam sangat tidak relevan saat ini karena Pancasila dan
UUD 1945 mengakomodir semua itu dengan prinsip kerukunan. Oleh karena itu, yang
terpenting bukanlah ideologi negaranya tetapi ideologi individunya apakah telah
mencerminkan nilai-nilai Islam. Jadi dapat dikatakan sangat lucu jika beberapa
orang berteriak pendirian Negara Islam dan Konstitusional Islam tetapi perilaku
mereka tidak sama sekali menceminkan nilai-nilai Islam terutama Islam sebagai
agama pembawa kedamaian dam kerukunan.
Lebih jauh lagi, Pancasila dan UUD 1945
menjadi 2 pilar dari 4 pilar dari kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Akhir-akhir ini, MPR aktif mensosialisasikan pilar-pilar ini ke
masyarakat dan hal tersebut patut diapresiasi. Akan tetapi, sosialisasi
tersebut tidak berguna jika tidak menyentuh aspek ideologis dari pilar-pilar
tersebut. Pancasila dan UUD 1945 yang mengandung nilai-nilai plural harus dapat
disosialisasikan secara ideologis ke masyarakat Indonesia.
2.
‘Lakum Dinukum Waliyadin’ Dalam Tataran Kebijakan
Pembaharuan
adalah sesuatu yang harus dilakukan jika ingin adaptif dengan zaman yang selalu
berubah adalah pesan dari Ahmad Wahib. Lebih jauh lagi, Ahmad Wahib mengatakan
dalam catatan hariannya tanggal 10 Maret 1970, “pembaharuan adalah proses yang
tak pernah selesai!” (Djohan dan Natsir, 2012 : 70). Pembaharuan ini harus
dilakukan dalam tataran kebijakan jika ingin proses merukunkan dapat berjalan
efektif guna terciptanya toleransi yang terkandung dalam ‘Lakum Dinukum
Waliyadin’. Dengan adanya penerapan esensi ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ dalam
tataran kebijakan maka efek pembaharuannya lebih luas daripada pembaharuan secara
individual.
Kebijakan-kebijakan
di Indonesia terkait strategi pembangunan lebih mementingkan pembangunan ekonomi
dan mengesklusikan aspek-aspek sosial dan budaya. Akibatnya, bukan sesuatu yang
aneh jika terjadi ketegangan-ketegangan secara horizontal termasuk antar umat
beragama. Idealnya, pembangunan ekonomi dapat berjalan secara beriringan dengan
pembangunan sosial. Dengan kata lain, bukan semata-mata trickle down effect tetapi juga empowerment.
Empowerment atau pemberdayaan organisasi
masyarakat (ormas) agama perlu dilakukan karena ketegangan antar umat beragama
di Indonesia berawal dari ketegangan antar ormas. Jadi proses merukunkan guna
menciptakan ‘Lakum Dinukum Waliyadin’ dalam tataran kebijakan harus menyentuh
aspek pemberdayaan termasuk pemberdayaan politik.
Pemberdayaaan
politik menurut Riswanda Immawan dalam Mansyur (2008: 16) adalah upaya untuk
menumbuhkan sense of belongingness
dan sense of responsiveness
masyarakat terhadap negara, sehingga masyarakat tidak hanya menjadi objek sebuah
kebijakan dan kondisi politik, tetapi juga menjadi subjek dan warga masyarakat
yang partisipatif dan peduli terhadap perkembangan negara dan masyarakat.
Ormas keagamaan memiliki potensi sebagai
gerakan sosial, politik, ekonomi atau minimal pressure group. Akan tetapi, kekuatan tersebut berperan meruntuhkan
dan bukan merukunkan jika tidak ditanamkan muatan-muatan plural di dalamnya.
Merupakan fakta apabila masih terdapat ormas keagamaan yang bersifat radikal
dan cenderung menggunakan kekerasan. Oleh karena itu, muatan plural tidak boleh
dilupakan dalam proses pemberdayaan politik tersebut.
Ruang-ruang
publik dalam bentuk diskusi, pendidikan dan lainnnya akan terbentuk apabila
partisipasi ormas keagamaan dapat dioptimalkan. Sebenarnya, pemerintah tidak
perlu ikut campur dalam pemberdayaan politik dan perannya hanya terbatas
sebagai regulator. Peran pemerintah minimal melalui Departemen Agama harus
memfasilitasi aktivitas pemberdayaan politik yang mangandung muatan plural dan
untuk variasi kegiatannya diserahkan pada ormas keagamaan itu sendiri. Dengan
begitu, pemberdayaan politik mendorong ormas keagamaan dapat menjadi institusi
sosial dan agent of change dalam
proses merukunkan antara umat beragama di Indonesia.
Jika
pemberdayaan politik dapat mendorong ormas keagamaan sebagai institusi sosial,
budaya dan politik dalam proses merukunkan maka dengan pendidikan dapat
mendorong individu dalam proses merukunkan. Dengan kata lain, perlu didorong
agar sistem pendidikan di Indonesia mengajarkan nilai-nilai plural dan
mencerminkan ‘Lakum Dinukum Waliyadin’. Dengan adanya pendidikan pluralisme
maka pembaharuan yang diinginkan oleh Ahmad Wahib akan bersifat intelektual dan
jangka panjang. Pendidikan pluralisme adalah cara untuk
menciptakan toleransi dalam ‘Lakum Dinukum Waliyadin’.
Pendidikan
pluralisme bisa diartikan sebagai pendidikan keragaman nilai dari setiap agama di
masyarakat dan dapat diartikan juga sebagai pendidikan untuk membina sikap
siswa agar menghormati keragaman nilai universal dari agama-agama di Indonesia.
Dengan kata lain, pendidikan pluralisme tidak terbatas pada aspek toleransi dan
menghargai agama yang berbeda, tetapi juga dapat dikatakan mutual respect antara pemeluk agama yang berbeda dengan disertai
munculnya generasi integratif.
Pembenahan
kurikulum menjadi sesuatu yang harus dilakukan dengan memasukkan muatan-muatan nilai
plural dan terdapat juga dua saluran untuk mewujudkan hal tersebut. Saluran
pertama ialah dengan menyisipkan muatan dan materi pluralisme dalam
pelajaran-pelajaran yang telah ada. Sedangkan, saluran kedua ialah membuat
pelajaran khusus bernama pembelajaran pluralisme. Dalam hal ini, saluran
pertama lebih realistis dan relevan dilakukan untuk melahirkan generasi
integratif yang akan menciptakan integrasi dan bukan disintegrasi yang sering
terjadi pada saat ini.
Pendidikan pluralisme
sebagai bagian dari pendidikan nilai dapat diintegrasikan dalam pelajaran
kewarnegaraan atau agama dari tingkat SD hingga SMA. Dalam hal ini,
muatan-muatan pluralisme harus disajikan dalam lingkup yang komprehensif serta
output yang jelas bagi siswa. Seperti yang diketahui bahwa pendidikan
kewarnegaraan dan pendidikan agama telah mempunyai kurikulum tersendiri. Dengan
begitu, hal yang harus dilakukan ialah tidak perlu merombak total kurikulum
tersebut dan cukup dengan menyisipkan saja muatan-muatan pluralisme yang telah
didesain menjadi materi yang siap diajarkan dan dikembangkan.
Masyarakat Plural Adalah Cerminan
Piagam Madinah
‘Lakum Dinukum Waliyadin’ adalah prinsip yang mengandung toleransi dan
hal ini dapat terjadi dengan adanya proses merukunkan baik itu dalam tataran
konstitusional maupun kebijakan. Dengan adanya Pancasila dan UUD 1945 merupakan
landasan idiil dan operasional yang mengakui keberadaan masyarakat plural lalu
pemberdayaan politik dan pendidikan pluralisme adalah cara mewujudkan itu. Diharapkan
Indonesia untuk ke depannya seperti Madinah ketika periode Muhammad SAW dimana
terciptanya hak dan kewajiban yang sama bagi masing-masing kelompok umat
beragama serta kesetaraan di antara mereka.
DAFTAR REFERENSI
Effendi,
Djohan., & Natsir, Ismed. (2012). Pergolakan
Pemikiran Islam. Jakarta : Democracy
Project Yayasan Abad Demokrasi.
Hidayat,
Mansyur. (2008). Ormas Keagamaan Dalam
Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani (Telaah Teoritik- Historis ).
Komunitas Jurnal
Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 .
Kholisuddin.
(2004). Toleransi Agama Dalam Al-Quran
Kajian Tematik Tafsir al-Azhar Karya Hamka. Tesis Pada Kajian Islam Program
Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta.
Misrawi,
Zuhairi. (2011). Alfred
Stepan “Agama, Demokrasi, dan “Toleransi Kembar””
[Review Artikel dari Alfred Stepan,
“Religion, Democracy, and
the “Twin Tolerations” dalam Journal
of Democracy Volume
11.4 (October 2000) hal. 37-57]
Munawar,
Budhy. (2011). Ensiklopedi Nurcholish
Madjid Pemikiran Islam di Kanvas
Peradaban. Jakarta : Democracy Project Yayasan Abad Demokrasi.